Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Menangkal Potensi Lupa dengan Zikir dan Takwa

Diperbarui: 24 Juni 2019   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

taken by @andryesetya

Malam sudah menunjukkan 20.30. Para Jamaah Maiyah sedikit demi sedikit mulai memadati tempat diselenggarakannya acara rutinitas bulanan tiap tanggal 17 di Kasihan, Bantul, yaitu Macapat Syafaat. Lantunan surat Al-An'am menjadi awal seolah ingin mengetuk pikiran dan jiwa setiap Al-Muhtadin yang ingin memetik keuntungan di acara maiyah ini.

Mas Helmi mulai membuka acara dengan meminta kepada para jamaah untuk mengajak berdoa untuk musibah yang menimpa saudara-saudara di daerah Donggala. Setelah itu, Mas Helmi menyampaikan beberapa update poin tentang beberapa hal. Yang pertama adalah manusia dan hubungannya dengan alam. Di mana manusia merupakan makhluk paling bungsu sebelum alam semesta, tumbuhan dan hewan tercipta. Tetapi manusia mulai lupa akan hakikat itu. Lupa ini terjadi karena semasa pendidikan kita mendapatkan pelajaran mengenai benda hidup dan benda mati. Lantas, apakah ada sebenarnya benda mati itu? Di saat semua benda yang dibilang benda mati juga berdzikir kepada Allah?

Tapi kenapa manusia selalu saja mengeksploitas alam? Apakah karena merasa hidupnya tidak cukup? Atau bagaimana manusia memandang konsep akan kebutuhan itu sendiri seakan-seakan semua dibutuhkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti sengaja dilemparkan Mas Helmi kepada para jamaah untuk men-setting jalan pemikiran jamaah supaya memiliki frekuensi yang sama terhadap alur yang akan berjalan pada malam itu. Lalu update poin berikutnya adalah mengenai acara yang akan diadakan pada Januari 2019 dengan tema "Sengkuni 2019". Dengan nada candanya, Mas Helmi juga menghimbau para jemaah untuk mulai menabung dari sekarang karena acaranya tidak gratis dan sedikit lebih mahal.

Sekitar pukul 22.00, Kiai Kanjeng, Cak Nun, Mbah Mus, Pak Toto, Pak Sutanto dan beberapa tamu yang lain mulai menaiki panggung. Lagu Marhabban menjadi musik pertama yang dimainkan oleh Kiai Kanjeng pada malam itu. Seakan membangkitan atau meningkatkan semangat belajar Al-Muhtadin yang sedari tadi telah menunggu sosok Cak Nun yang telah ditunggu-tunggu.

"Masih bisa menikmati hidupmu? Apapun keadaannya? bagaimanapun situasinya? dimanapun kamu berapa? Siapapun presidennya?" Sapaan pertama Cak Nun kepada segala jamaah yang hadir. Setiap manusia selalu meminta rejeki di setiap doanya. Tapi, kebanyakan diantara mereka selalu memandang rejeki itu sebagai suatu yang bersifat material. Padahal, kesehatan dan dapat menikmati itu segala keadaan pun merupakan sebuah rejeki. Cak Nun menuturkan rahasia dalam berdoa, "Jadikanlah rejeki itu menjadi efek yang akan datang dari doamu." Dan hal tersebut tidak dapat ditelan mentah-mentah. Cak Nun sering berpesan agar seluruh jamaah dapat memaknai sendiri setiap ilmu yang diterima.

Berdoa itu sendiri adalah urusan menyapa kepada Allah. Kita mesti mengakui dan menghargai terlebih dahulu dalam Waqala Rabbukumud'uunii, kemudian Allah menjawabnya dengan Astajiblakum. Sepertinya semua itu menjadi rumusan agar setiap doa memiliki efek kepada yang akan dituju. Agar doa tidak hanya memiliki definisi makna, akan tetapi lebih menjadi sebuah sapaan kepada Gusti Allah.

Selanjutnya Cak Nun memberikan 5 level kemungkinan keadaan yang dialami oleh manusia. Nidhomus Sunnah, Nidhomul Qudrah, Nidhomul Karamah, Nidhomus Syafaat, dan Nidhomut Tajaliyyah. Yang pertama Nidhomus Sunnah adalah sesuatu yang baku Allah buat (Sunnatullah).  Mayoritas manusia berada dalam level Nidhomus Sunnah ini belum dapat lulus karena kehilangan atau salah dalam memaknai sesuatu. Jadi di level ini juga potensi lupa sering dijumpai. 

Cak Nun melanjutkan dengan memberikan contoh dalam memaknai ulama yang sering terbalik. Banyak yang mendefinisikan ulama itu orang yang banyak memberikan tausiyah di depan khalayak umum dan itu adalah pekerjaannya. Padahal, definisi ulama menurut Al-Qur'an adalah manusia yang takut kepada Allah. Hal itu berarti siapa saja mempunyai kesempatan untuk menjadi ulama. Bukan mereka-mereka yang sering tampil memberikan tausiyah saja.

Sedangkan 5 kemungkinan lain akan Cak Nun sampaikan di beberapa maiyah kedepan. Karena untuk mencapai Nidhomut Tajaliyyah, suatu keadaan dimana ada kesadaran saat semua yang kita lakukan adalah Tuhan yang melakukan. Dengan kata lain dalam Tajaliyyah ini kita hanyalah Alat Tuhan. dan untuk mencapai kemungkinan itu butuh beberapa kesempatan maiyah kedepan untuk sedikit-demi sedikit mempelajarinya.

Hal tersebut membuktikan jika di wilayah default-nya,  manusia masih sering keliru karena kedangkalan cara berfikirnya. Lupa tersebut bisa sebagai individu atau sebagai lupa yang kolektif. "maka kita mesti selalu eling dan waspada" pungkas Cak Nun. Adz-dzikru waa Taqwa, dzikir sebagai eling-nya, sedangkan taqwa merupakan kewaspadaan kita. 

Jika diibaratkan dalam sepak bola, Cak Nun menganalogikan Indonesia sedang mengadakan Turnamen Lupa. Jelas-jelas sudah kartu merah masih boleh main (para caleg yang ikut dalam pemilu walaupun sudah jelas terbukti pernah korupsi). Baru menjabat sebagai pemimpin setahun, wes mlebu final (pemimpin yang baru menjabat setahun akan tetapi sudah mengikuti pemilihan presiden).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline