Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Essai | Delusi

Diperbarui: 11 Mei 2019   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay

 Hujan es mengguyur kota Darmo kemarin sore. Terjadi tak begitu lama tapi cukup membuat kehebohan di kota ini, bahkan masuk ke berita nasional. Darmo terheran terhadap kehebohan itu, bukan karena hujan es, akan tetapi karena pemandangan moral manusia yang begitu menggelikan.

Sebelum hujan itu terjadi awan gelap tak begitu mengherankan masyarakat, malah yang terjadi adalah keluhan yang berkicau disana-sini. Mengeluh kepada hal yang seharusnya disyukuri karena akan datangnya hujan. Padahal dulu Rasul amat takut ketika awan mulai mendung dan selalu memohon agar musibah ataupun bencana tidak akan datang.

Turunlah hujan dengan begitu derasnya, tetiba kicauan keluhan berubah drastis menjadi teriakan Takbir. Dasar manusia, begitu labil. Sebegitu mudahkah ke-teteg-an hati kalian. Kalian menjerit heboh dengan tidak lupa update story di media sosial masing-masing. 

Emang Tuhan ada di aplikasi handphone kalian? Tidak ada sinkronisasi antara mulut dan hati. Ingin hati mendapat perhatian orang lain dengan menjual asma Allah. Mungkin, manusia zaman now lebih suka menjadi terkenal diantara manusia lain daripada menjadi terkenal di mata Tuhan,

Gila! seperti itulah Darmo melihat gegap gempita perilaku sosial masyarakat di kotanya. Darmo hanya bisa bersyukur kalau awan gelap itu hanya menurunkun hujan es. Tuhan mungkin sedang rindu dengan teriakan-teriakan kita. Dan parahnya, ketidaknormalan histeris itu tidak hanya terjadi di kota ini saja, bahkan di mayoritas wilayah negeri ini.

Beberapa hari lalu Darmo bertemu dengan salah satu kawannya ketika masih kuliah. Temannya merupakan salah satu korban gempa Yogyakarta di tahun 2006. Semasa kuliah ia tak pernah menceritakan sedikitpun tentang apa yang pernah dialaminya. 

Baru beberapa hari kemarin ketika Darmo dan temannya mendapat waktu untuk bersantai. Temannya menceritakan segalanya, termasuk kehilangan ibu dan neneknya dalam kejadian itu.

Darmo gumun karena dibalik kediamannya, ia menyembunyikan kegembiraan yang luar biasa atas apa yang orang-orang biasa sebut bencana alam adalah musibah, bukan berkah. Bukankah berarti memang sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan? Ini lho, sesunggungnya bersama kesulitan ada kemudahan?"

Lalu sebenarnya adakah kesulitan itu? Apa yang menyebabkan sesuatu menjadi sulit adalah keitika kita  berprasangka akan ketidakmampuan kita untuk menjalani atau mengatasi apa yang sedang terjadi. Padahal Tuhan pasti tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita.

Lalu bagaimana dengan orang yang gila? Gila bukan berarti dia menghindari cobaan atau pikirannya sudah terlampau overload terhadap ujian yang datang ke dalam kehidupannya. Dan tidak mungkin juga sebuah APK file (ujian) bisa diakses dalam komputer (diri) kecuali memang sesuai dengan spesifikasinya (kapasitasnya). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline