Kebingungan selalu saja menyapa terutama selepas waktu yang menuntunku untuk menuntaskan trawih sesegera mungkin. Gorengan dan kopi sisa berbuka masih berserakan di meja. Sayang mereka tak bisa berbicara meski jika dipaksa bisa-bisa aja. Namun teman setiaku segera menyapa seolah tak mau aku lama berdiam dengan kebingungan itu.
"Kenapa di saat bulan yang katanya penuh berkah malah membicarakan sakit hati, sih?" tiba-tiba angan itu menyerukan pertanyaannya kepadaku. Lantang!
"Kenapa? Memang kamu sedang sakit hati?" jawabku kepada angan dengan gaya sok penuh ketenangan.
Lucu saja ketika dia tiba-tiba datang langsung menyematkan ungkapan 'sakit hati' kepada seseorang atau bahkan kelompok tertentu yang mungkin gelagatnya membuat kita bisa mengungkapkan bahwa mereka sedang dilanda sakit hati.
"Atas dasar apa kamu bisa menilai bahwa mereka sakit hati? Karena ucapannya atau perilakunya sehingga dengan congkak kamu bisa sematkan 'sakit hati' itu terhadapnya?" seolah aku ingin menuntaskan penasaranku karena tak biasanya ia seperti itu.
"Atau jangan-jangan diri kita sendiri merasa lebih baik sehingga bisa memberikan nilai kepada yang sedang tersakiti hatinya?" lanjutku.
"Lhoh, kenapa jadi malah aku?" kata Angan membela.
"Lalu bagaimana bisa kamu bisa berkata seperti itu? Jangan-jangan kamu sendiri yang sedang tersakiti hatinya oleh karena sesuatu, entah itu pembelaan atas dirimu, orang tuamu, gurumu, atau seseorang yang sedang kamu kasihi."
Situasi menjadi hening, anganpun enggan memberikan kata-kata lagi. Sembari memikirkan kata-kata yang kulontarkan kepadanya yang sepertinya kebingunganku seolah justru kulempar kepadanya. Benar saja permainan ini sungguh menarik untuk kita menangkan. Hingga terkadang membuat kita lupa terhadap diri kita sendiri.
" Kalau memang benar sakit hati ini hanyalah salah satu ungkapan pembelaanku, adakah cara lain yang lebih bijak?"