Bias cahaya pada langit temaram ini mengindikasikan hujan yang kemungkinan akan masih meneteskan segala asihnya. Tanah yang masih belum begitu kering ini pun menjadi pertanda jika sebelum malam ini hadir, hujan sempat menyapa kawasan TKIT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul.
Pukul 20.00 para jamaah maiyah sudah nampak memenuhi halaman depan panggung Mocopat Syafaat. Begitupun rona wajah kerinduan yang mulai datang bergelombang dari arah utara.
Dan tanpa pernah absen selalu ada sambutan manis dari para pejuang penyedia alas tempat duduk. Hanya demi kenyamanan dan menjaga celana para jamaah agar tidak kotor, mereka rela menjajakan alas sedemikian rupa. Semoga berkah dan barokah selalu tercurah kepada para pejuang ini atas segala keikhlasannya.
Iringan nada pembacaan Surat Al-Anfal oleh Mas Ramli jadi kata sambutan bagi semua saudara yang baru hadir sembari mempersiapkan diri. Sembari menunggu jamaah mengatur posisi duduk yang nyaman, sebelum mengarungi lautan ilmu menuju 2/3 malam. Walaupun pada makna yang lain tentu memohon kepada langit untuk membocorkan sedikit rahasianya.
Mengobati segala kerinduan akan pertemuan atau sapaan yang hanya sebulan sekali terselenggara secara rutin ini. Setelah ketukan pintu langit, Mas Islamiyanto dan Mas Imam mengajak semua para jamaah untuk menyapa Kanjeng Nabi bersama-sama.
Mas Helmi dan Pak Toto mulai menaiki panggung. Diteruskan dengan mengutarakan tentang muqadimah acara Mocopat Syafaat malam hari ini. Tentang sebuah kompetisi atau perlombaan, adakah ayat Al-Qur'an yang autentik terhadap itu? Dan memang kita mesti kembali belajar ke surat Al-Baqarah 148.
Kembali mendalami makna fastabiqul khairat karena pada zaman ini banyak yang berlomba-lomba bukan pada hal kebaikan, melainkan mereka berlomba dalam hal kehebatan, memperebutkan kemenangan, pun kepintaran yang menjadikan sombong, yang kini terwujud dalam suasana saling berebut kebenaran dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akkhirnya semua itu hanya akan menjerumuskan kita kepada pertengkaran yang tak pernah usai dan menjebak kita dalam lingkaran dendam atau kebencian.
Mocopat Syafaat edisi Februari ini juga menjadi momentem bahwa acara rutinan ini telah menginjak usia yang ke-20. Membersamai dan menuntun entah itu Al-Muhtadin, Al-Muththaharun, maupun Al-Mutahabbina Fillah yang bertemu pada tempat ini. Negeri ini juga memberikan kado dengan mengadakan kompetisi di 'kamar sebelah'.
Sebuah pertunjukan untuk (dipaksa) memilih seorang pemimpin, dimana acara tersebut kondang dengan tagline 'Debat Calon Presiden'. Toh, mengapa juga kedua kandidat mesti debat kalau kiranya visi dan misi kedua kandidat pasti sama-sama bagus.
Akan tetapi, dengan acara 'Debat' yang notabene meriah itu, antusiasme sebagian jamaah untuk mengobati kerinduan tak berkurang, justru semakin bertambah ramai dalam rentang 20 tahun ini. Setidaknya, suasana di Mocopat Syafaat ini sedikit menggambarkan mulai terbangunnya kedaulatan berfikir di masyarakat negeri ini.