Lihat ke Halaman Asli

Taufan Satyadharma

Pencari makna

Essai | Manusia Saklek

Diperbarui: 26 September 2018   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Tidak sengaja tadi saya menemukan sebuah postingan teman yang mengutip Imam dari Timur Tengah yang tak seharusnya menyebut merk. Disitu dijelaskan bahwa agama islam itu bukan berdasarkan akal, bukan pula berdasarkan perasaan.

Beragama islam itu dengan  mengikuti hukum-hukum Allah di Kitab-Nya dan hukum-hukum Rasul-Nya pada sunnah dan haditsnya. Sungguh mulia sekali teman saya dan dalam captionnya ia menambahkan jika seperti itulah cara beragama yang benar. Subhanallah.

Hanya saja  karena saya anak nakal dan tidak tahu cara beragama yang benar, hal pertama yang kurasakan adalah kagum. Bukan melihat postingannya, akan tetapi perubahan yang terjadi pada teman saya sewaktu kuliah tersebut.

Orang biasa sebut ia dapat hidayah, dan siapa yang memberi?Tentu sesuatu yang berperasaan  sehingga ia rela memberikan hidayahnya kepada temanku.

Yang kedua  saya bertanya-tanya, bagaimana bisa ada yang mengetahui cara beragama yang benar, terutama Islam dan disini kebetulan agama kita sama. Lantas buat apa kita melafazhkan ihdinashshirathal mustaqim kalau kita sudah tau cara mana yang benar.

Benar berarti mengetahui cara serta jalan yang tidak menyesatkan. Seorang Rasul pun dalam sholatnya selalu melafazhkan Al-Fatihah. Hebat sekali Imam tersebut sehingga temanku terpikat dengannya.

Yang ketiga, tangan ini gatal rasanya ingin menulis sesuatu di kolom komentarnya. Tapi apalah saya yang serba salah yang sungguh tidak pantas mengomentari postingan yang benar.

Saya tahu diri. Saya pun takut, karena ia bukan lagi manusia, karena tidak berperasaan dan berakal. Saya salah lagi. Diam. Sudah salah, tetapi tangan ini seakan tak mau berhenti, tapi saya hanya diam. Saya wesanteng, tapi jari jemari terus pencilakan kesana-kemari.

Saklek tidak berbeda jauh dengan idealis. Orang yang memiliki kepribadian yang kuat dan cenderung ke keras kepala. Sama seperti sifat yang lain, sifat ini memiliki kelebihan dan kekurangan.

Akan tetapi dalam lingkup kerukunan beragama, orang sering salah mengkategorikan mana yang iman atau saklek dalam memahami suatu statement. Untuk memahami keduanya pasti diperlukan akal menurut saya.

Tapi biarlah para manusia-manusia intelek yang memberikan deskripsi pembenaran menurut ilmu-ilmu mereka. Bukan jalan saya untuk mengejawantahkan pembenaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline