Pertama kali saya mendengar nama Pramoedya Ananta Toer dari sebuah judul berita yang mengatakan bahwa pernah ada salah satu pengarang asal Indonesia yang masuk sebagai kandidat peraih nobel sastra, entah bagaimana kebenarannya namun tajuk itu cukup membuat saya penasaran untuk membaca karyanya. Karena saya cukup sulit untuk menemukan buku karya Pram di daerah saya akhirnya baru beberapa tahun kemudian, saya berkesempatan untuk membaca karyanya dan saya tidak akan pernah lupa "aftertaste" setelah saya membaca buku pertama dari tetralogi pulau buru, kisah yang baru saja diangkat menjadi film dan sedang booming boomingnya saat ini, Bumi Manusia.
Banyak alasan mengapa Bumi Manusia dan Pramoedya menjadi perhatian jagat lini masa saat ini. Ada romantisme masa lalu yang sebenernya tidak romantis sama sekali dalam angkatan orangtua saya sekitar tahun 80an atau masa dimana rezim paling otoriter yang pernah menguasai negeri ini, Orde Baru sedang jaya jayanya. Saat itu segala sesuatu tentang Komunisme diberangus habis. Pada masa itu membaca Tetralogi Buru adalah sesuatu yang dilarang dan harus nekat nekatan, diam diam lewat pintu belakang, dari mulut ke mulut, hanya untuk menikmati karya fenomenal dari Pram.
Bagaimana tidak, sang pengarang yang melahirkan karyanya yang fenomenal ketika dalam masa pembuangan, adalah salah satu tahanan politik yang disingkirkan ke salah satu pulau terbesar di kepulauan Maluku, Pulau Buru. Bukan hanya Pram, ada sekitar 12000 orang yang dianggap sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), partai paling terlarang dalam masa orde baru. Mereka diharuskan bertahan hidup melawan ganasnya alam kepulauan Maluku yang gersang yang hanya dibekali peralatan seadanya dan tidak dipungkiri diikuti dengan berbagai siksaan yang didera.
Pembuangan ini dilakukan secara bertahap dari tahun 1969 sampai 1976 oleh Orde Baru, diasingkan dari keluarga dan kerabat bahkan tanpa pengadilan sama sekali. Sebuah ketakutan buta dari orde baru yang belakangan ini digaungkan kembali ketika masa pemilihan pemimpin negeri ini.
Pram dibuang ke Pulau Buru karena tergabung dalam Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat yang merupakan salah satu afiliasi PKI dalam bidang seni.
Lekra memang sempat lekat dengan PKI, namun lembaga yang menaungi kaum sastrawan dan seniman revolusioner ini tidak pernah menjadi bagian resmi dari partai politik berhaluan kiri tersebut.
Awal mula pram bergabung dengan lembaga seni ini adalah ketika ia ditawari untuk menerjamahkan salah satu karya Marxim Gorky salah satu sastrawan rusia dengan aliran sosialisme realis. Karya Pram selanjutnya diterbitkan oleh Yayasan Pembaruan, penerbitan yang dimiliki oleh PKI yang membuat pram diundang ke RRC.
Setelah bergabung ke Lekra, banyak orang yang menganggap Pram sebagai orang kiri, meskipun terdapat perdebatan apakah Pram hanya diperalat sebagai "anak yang di emaskan", vokal terdepan PKI dalam menghadapi lawan lawannya dalam bidang keusustaraan.
Setelah peristiwa G30SPKI (meskipun sekali lagi masih disangsikan siapa dalang dibalik peristiwa ini) Pram yang sudah dikenal sebagai orang kiri, tanpa diadili, dibuang dan disiksa di Pulau Buru. Selama di Pulau Buru, Pram masih aktif menulis meskipun dengan peralatan seadanya. Tetralogi Pulau Buru dianggap sebagai refleksi dan pandangan dirinya terhadap bangsa Indonesia.
Meskipun beberapa kali lembar lembar tulisannya dirampas namun berhasil bertahan salah satunya dengan cara penuturan langsung kisah dalam Tetralogi Buru dari mulut ke mulut sesama tahanan politik. (teguh, 2018) Meskipun demikian penghargaan ini mengalami penolakan dari berbagai sastrawan karena menganggap masa lalu Pram "Tidak Bersih".
Meskipun begitu Pram masih menelurkan sejumlah karyanya lewat Hata Mirta, penerbit yang dia dirikan sendri, ditengah berbagai perseteruan tentang masa lalunya.