Sinar matahari mungkin lebih sering menerpa wajahnya daripada pandanganku. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menjalani rutinitas itu lagi. Membuatkan sarapan, menyeduh biji kopi terbaik dari dieng tinggi negeri ini dan menatanya rapi di meja makan sambil menyimak berita hari ini.
Lelaki itu datang. Aku mengalihkan pandangan dari media online yang kubaca dan segera memulai sarapanku, tanpa kata, tanpa hangatnya senyum yang seharusnya kuberikan. Dia sudah mahfum, dia segera meminum kopi buatanku, khidmat. Aku tau, karena dia sendiri bilang padaku bahwa secangkir kopiku adalah yang terbaik dari semua ini. Tapi aku tak pernah meminum kopi lagi, takkan ada lagi nikmat yang sama.
Wajahnya yang tampan yang sempat membuatku tergila gila sangat cocok dengan setelan jas yang ia pakai hari ini. Aku tau setiap detil jas itu karena aku sendiri yang membuatnya, aku tau setiap pola jahitannya bahkan lebih dari tubuhnya sendiri. Dia pernah bilang bahwa nadinya terasa lebih dekat dengan jas ini daripada helaan nafasku. Aku tak berkomentar apa apa, tapi setelan itu memang kubuat dengan sepenuh hati.
Lelak itu berangkat, mencari pundi pundi rupiah yang membuatku bisa berleha leha sambil menikmati kenikmatan duniawi dirumah. Namun, aku tidak sudi begitu, aku segera memulai pekerjaanku bertahun tahun menulis artikel psikologis , kali ini tentang penanganan pascatrauma, miris.
Perihal tentangnya, aku sedikit mengingat sosoknya yang lampau. Pemuda cerdas dengan senyum manis dan wajah tampan mempesona. Pelanggan kopi paling idealis dengan pesanan yang sama. Tapi yang paling kuingat adalah pengetahuan dan wawasannya yang mengalahkan wajahnya yang memang sudah tampan. Sikapnya yang baik kepada semua orang dan hormatnya bukan main kepada orang yang lebih tua membuatnya pantas dipuja. Semua orang tau, bahkan dia tau, bahwa perempuan ekspresif yang suka menulis ini tergila gila padanya. Aku juga tahu bahwa dia jujur menganggapku sebatas teman baristanya yang suka berbagi segala sesuatu.
Namun suatu malam iblis --kalau tidak mau terlalu menyalahkan birahi yang tak tertahan- mengacaukan segalanya, dia tau, semua orang tau, bahwa meskipun bukan orang yang religius religius amat aku tidak akan melakukan sesuatu sebelum waktunya. Meskipun aku memujanya dulu, aku tidak akan bisa menjahit sesuatu dengannya, toh aku sudah dilamar dengan seseorang lelaki pilihan Ayah yang yah cukup dan mau tak mau menarik hatiku. Perbedaan keyakinan juga membuat decak kagumku hanya sebatas teman saja. Namun memang iblis bisa merasuki pemuda yang selalu mengingat Tuhannya itu.
Sudahlah aku tidak mau menyalah nyalahkan iblis, Tidak pula aku murka, tidak ada, hanya luka yang mendalam sesudah itu.
Aku tau, dia tak pernah jatuh cinta kepadaku.
Artikel ku sudah hampir selesai ketika sadar bahwa hari sudah mencapai siangnya dan memutuskan untuk mengunjungi restoran favoritku demi memenuhi hasrat perut yang berubah jadi gemuruh ini. Selama pernikahan ini aku hampir tidak pernah memasak untuk menyambutnya dirumah sehabis dihujam penatnya ibukota, biasanya aku akan menghabiskan waktuku di luar untuk menyelesaikan artikelku atau sesekali berkunjung ke kantor dengan mejanya yang portable tanda aku lebih suka menghabiskan waktu diluar dibandingkan tempat aku seharusnya bekerja itu. Ketika malam tiba, aku akan pergi tidur dan melepaskan sementara segala lelah, tanpa sepatahpun kata selamat bermimpi indah yang seharusnya aku merdukan, selalu, dan tidak pernah sekalipun juga dia terganggu.
Satu satunya hal yang tidak ia tahu adalah restoran favoritku masih berupa tempat pertama kali kami bertemu. Dulu, sambil mengerjakan tugas akhir, aku menyempatkan diri untuk mengamalkan ilmu dan hobiku yaitu menjadi barista pada sebuah kedai kopi. Kedai itu kecil, kalah pamor dan tenar dengan kedai kopi yang bayar pajak selangit itu, namun kedai ini tahu membalas luhur dan membayar petani dengan harga sepantasnya. Sudah kubilang dia pelanggan kopi paling idealis dengan pesanan yang selalu sama setiap hari. Interaksi hangat yang memang menjadi asas kedai ini membuat hubunganku dengannya semakin akrab. Lelaki itu memang mahkluk mempesona berkali kali aku akui hingga suatu hari di ujung shift malam ia meminta menu yang lain, yang manis sampai takbisa dirasa pahit kopinya lagi. Lelaki itu memang berjanji akan datang hari ini, karena ingin menyerahkan memori kesehariannya yang ia tulis selama sebulan itu-sebenarnya itu bukuku, kami memang sepakat untuk bertukar diari karena sebulan kemarin ia tak bisa mampir ke kedai ini- dan aku selalu berbaik sangka padanya lalu menjalankan tugasku sebagaimana barista semestinya. Sampai lengan kekar itu menarikku dan memojokkan tubuhku ke dinding, aku tahu (dan menyesal) karena aku sebenarnya bisa melawan, namun jiwaku sudah terberangus duluan. Setelah semua itu hanya air mata yang bisa aku hujamkan serta sepatah kata maaf dari bibirnya yang sanggup ia haturkan, lelaki itu lekas pergi meninggalkan jiwaku yang campah, hambar tak tak karuan.
Semenjak saat itu aku hanya diam.