Saat ini, banyak generasi milenial yang berbondong-bondong untuk bertarung asa di perkotaan, di mana kota dikenal dengan mobilitas masyarakatnya yang sangatlah tinggi sehingga banyak orang menganggap bahwa akan lebih mudah untuk menemukan pekerjaan yang layak di sana.
Perkotaan menjadi suatu daerah yang sangat diidam-idamkan para masyarakat pelosok yang ingin meraih mimpinya. Tak jarang dari mereka memilih untuk meninggalkan tanah lahirnya untuk merantau dan memulai kehidupan barunya di kota, wilayah yang serba ada.
Namun di sisi lain, keadaan berbanding terbalik pada generasi baby boomers (generasi kelahiran 1946-1964) dan generasi Y (generasi kelahiran 1965-1976).
Dua generasi tersebut beranggapan bahwa kehidupan kota dengan segala aktivitasnya yang sangat padat sedikit banyak telah meningkatkan tingkat stress bagi mereka.
Hal ini dapat disebabkan karena semasa mudanya, mereka telah menghabiskan waktu untuk bekerja dan mengorbankan dirinya untuk selalu tunduk pada kesibukan.
Banyak dari generasi tua merasa bahwa kehidupan di kota cukup melelahkan, mereka banyak kehilangan kesempatan untuk berlibur bersama keluarga, terlalu sibuk untuk terus bekerja sehingga lupa untuk menyapa tetangga rumah sebelah, atau karena mereka terlalu sering melihat aktivitas di jalanan macet yang membosankan.
Sebagaimana alasan-alasan di atas, banyak dari mereka yang merasa bahwa kota bukanlah tempat tinggal yang cocok ditinggali di masa tua.
Lalu, dimanakah tempat tinggal yang menjadi impian para masyarakat kota generasi baby boomers dan generasi Y untuk menghabiskan masa tuanya?
Kita semua tahu, bahwasanya terdapat perbandingan yang cukup signifikan yang membedakan antara kota dan desa. Di desa, anda akan menemukan bentangan alam yang masih asri, lingkungan sosial guyub rukup saling berinteraksi, dan sangat mudah untuk menemukan ketenangan di dalamnya.
Hal-hal tersebutlah yang membuat banyak para generasi tua ingin menjadikan desa sebagai 'rumah' untuk menghabiskan masa hidupnya. Ketika dahulu ambisinya untuk bermimpi masih menggebu-nggebu, mereka menganggap bahwa di desa mereka akan kesulitan untuk menjemput mimpinya.