Lihat ke Halaman Asli

hartati bahar

Ibu Muda yang ingin menjadi Queen Bagi anak-anaknya

Hari Bersama di Kampung Bajo

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari tepat beraada di atas kepala, cuaca sedang panas-panasnya tapi tak urung menghalangi kami melangkahkan kaki ke tempat ini. Di kejauhan nampak jejeran rumah panggung berdiri di atas air lautan. Jalan setapak yang harus kami lewati dipenuhi anak-anak kecil yang nampak gembira bermain di tepian jalanan. Rambut mereka nampak menguning terbakar panas mentari, tapi mereka tak peduli dan asyik bermain. Panas adalah sahabat sepermainan mereka, biarlah kulit hitam legam akibat paparan mentari, kegembiraan dan sumringah terpancar jelas dari raut wajah-wajah cilik ini.

Di sudut lain beberapa anak nampak terjun berenang di air laut, gelak tawa riang mereka mengiringi langkah kaki kami menelusuri jalan setapak penghubung antara rumah. Suara percikan air menyuguhkan lagu merdu tersendiri. Kampung bajo, begitu kami menamainya. Rumah- rumah di bangun dengan model sama berjejer dan bersusun rapi. Suasana kehidupan nelayan sangat terasa. Di beberapa bagian depan rumah penduduk nampak alat penangkap ikan, suara perahu nelayan hidir mudik dihadapan kami, pengemudi sampan-sampan kecil itu wanita. Mengisi perahu dengan berjergen-jergen air bersih.  Di kebanyakan perkampungan pesisir air bersih selalu menjadi masalah utama, sama seperti disini mereka harus keluar kampung untuk mendapatkan air bersih yang dipergunakan keperluan rumah tangga.

Semakin jauh kaki menelusuri jalan setapak, seulas senyuman ramah menyambut kedatangan kami, sambil mengulurkan tangan dia berkata:

"Janganki heran di’...disini itu orang-orang bicaranya keras semua, biasalah saingan sama ombak suaranya.. “

Senyum hangatnya mengembang saat mengucapkan kalimat terakhir. Laut, ombak, dan suara keras membuatku ikut tersenyum.

Coba Lihat, untuk menemui tetangga sebelah tak perlu berkunjung door to door, cukuplah membuka jendela berteriak menyampaikan keperluan dan tetangga sebelah membalas dengan melakukan hal yang sama.  Laut menjadi penghubung antar rumah. Jembatan dan jalan setapak hanya nampak di depan rumah. Menengok jendela dan pintu belakang langsung menghubungkan kami ke laut. Saat menyantap makan siang semilir angin laut menyapa kami ditemani cengkrama  ikan-ikan kecil di kolong rumah. Melalui jendela mata pun beradu dengan perahu-perahu milik penduduk. Angin, ikan, dan perahu kembali membuatku tersenyum.

Apa yang kau pikirkan saat melihat laut?

Apa yang ku pikirkan saat melihat laut?

Apa yang kita pikirkan saat mendengar kata bajo ? Laut !

Masyarakat Bajo hidup disini sudah puluhan tahun, namanya kampung bajo tapi penghuninya kini tak semua orang bajo. Mereka telah hidup berdampingan dengan beberapa suku lain dan telah terjadi akulturasi budaya. Namun ada yang tetap sama, kehidupan laut yang tak terpisahkan dari mereka. Suku bajo dan laut satu kesatuan, mereka hidup dan mencari kehidupan di laut. Di lao’ denakang-Ku, “Lautan adalah saudaraku”.

Terima kasih harber (baca: hari bersama) telah membawaku ke sudut lain kehidupan laut bersama Suku Bajo. Ukhuwah selalu kan membawamu ke dimensi-dimensi  lain yang menakjubkan, sama seperti harber kali ini. Bajo, Lautan adalah kehidupanku!!

*Ahh harber.. aku menantikan keindahan lain-mu selanjutnya :)

@tatikbahar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline