"Zan, gue enggak nyangka, Inara makin manis aja," ujar Maher yang berjalan di sisi kanan Farzan.
"Lo beneran naksir Inara?" tanya Farzan tanpa mengurangi laju langkahnya menuju parkiran.
"Gitu, deh," jawab Maher sambil terkekeh.
"Her, Inara itu beda sama teman-teman cewek lo. Mana mau dia pacaran, apalagi lo yang jadi cowoknya." Farzan tertawa yang kemudian disambut oleh pukulan pelan Maher di bahu kanannya.
Farzan mengenal Inara sejak kelas 2 SMP. Gadis berkulit kuning langsat itu menjadi tetangga Farzan karena kedua orang tuanya pindah tugas.
Inara bersekolah di SMP yang sama dengannya. Karena kecerdasan dan pembawaannya yang ramah, Inara banyak disukai guru dan teman-temannya.
Cara Inara membelalakkan mata kala terkejut, mengerutkan alis ketika heran, merapikan rambut harum sebahunya ketika tertiup angin, dan senyum yang meninggalkan lekuk di pipi, membuat siswa laki-laki tak bosan memandangnya.
Namun, Inara sudah mengubah penampilannya sejak tiga tahun lalu. Mahasiswi ekonomi semester enam itu telah menjadikan gamis dan hijab sebagai busana hariannya.
"Zan, please, deh. Lo bisa, kan, bantu gue dekat sama Inara?"
"Sorry, Bro. Meskipun gue sama Inara tinggal di satu perumahan dan ibu kami dekat, gue enggak mau ikutan."