Rona kemerahan dan oranye yang disebarkan sinar matahari oleh partikel debu dan partikel aerosol lain sangat menawan bagi Aksa.
Hampir setiap pagi ketika bias memukau pada cakrawala terbit, Aksa abadikan melalui lensa kamera atau ponsel di mana pun berada.
Keindahan cakrawala di waktu fajar mengingatkannya pada Aruna, seorang gadis yang sempurna secara fisik, cerdas serta memiliki keteguhan dalam menjaga kehormatan diri dan agamanya.
Rona kemerahan sang surya yang memantul pada wajah tirus itu membuat kecantikannya berkilau. Aksa terpukau. Lukisan keindahan fajar tercetak sempurna pada wajah Aruna sehingga membentuk siluet estetik tanpa cela.
Aksa melangkah ringan, seakan-akan ada magnet yang menariknya hingga menyisakan sedikit jarak dari Aruna. Seperti sudah mengenal lama, Aksa mengucapkan untaian kata yang ditujukan pada gadis berkerudung biru pastel itu tanpa canggung.
"Sang surya selalu terbit dari satu titik yang sama, tetapi cahayanya melingkupi segala arah," ujar Aksa tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan langit yang menawan. "Apa pendapatmu tentang matahari terbit?"
"Tidak ada yang lebih tepat janjinya selain matahari. Ia akan terbit setiap pagi pada titik dan waktu yang sama tanpa sedikit pun ingkar," ucap Aruna. Pandangannya tak lepas dari ufuk timur.
"Hidup adalah campuran cahaya matahari dan hujan, tawa dan air mata, kebahagiaan dan rasa sakit. Namun, tak ada awan yang tak bisa ditembus matahari," pungkas Aruna.
Sejak pertemuan itu, Aksa tak pernah bisa menghapus wajah ayu bermata jeli itu dari ingatan hingga mendorongnya untuk mengenal Aruna lebih dekat.
Keelokan budi dan kelembutan hati Aruna telah mencuri hatinya. Pada Aruna, Aksa mantap melabuhkan cinta dan membajakan tekad untuk memenangkan hatinya.