Empat sisi ruang kamar itu menatap Dimas dengan resah. Suara gerimis menitik tipis di luar sana. Dengan pelan ia berjalan, menapakkan kakinya satu persatu membuka jendela disudut kamar itu. Langit kelabu dan hawa dingin menyambut harinya pagi ini. Ia menyaksikan burung-burung berteduh, pepohonan dan dedaunan serta kelopak bunga yang sedang merekah telah basah. Semesta seolah turut merayakan hatinya yang patah.
Dimas, seorang laki-laki dengan rambut gondrong sedikit ikal dan tatto di lengan kanannya. Lulusan sarjana yang lebih memilih membuka kedai kopi ketimbang bersaing ikut tes CPNS atau pegawai di kantor-kantor swasta. Menurutnya, ia tidak memiliki mental tahan banting menjadi karyawan yang harus tunduk pada atasan.
Prinsip hidupnya ia bangun sendiri setelah melewati kesepian yang begitu panjang. Dimas tentu pernah merasakan patah hati sebelumnya, tapi tidak sedalam yang ia rasakan kini.
Dilla, perempuan yang ia banggakan setelah Ibunya. Perempuan yang ia anggap sebagai rumah saat dunia mengasingkannya. Perempuan yang menuntun saat hidupnya tanpa arah. Perempuan yang pergi saat rencana-rencana masa depan itu sudah ia rinci.
Harapan panjang menjadi pupus. Putus dari kekasihnya yang terkasih. Hubungan yang sudah berjalan tiga tahun itu kandas. Perkara hati memang sulit ditebak. Aroma basi yang sudah lama menyengat membuat kisah cinta menjadi tidak sehat dan sekarat. Ditambah lagi perbedaan keyakinan yang mereka anut.
Dilla mengucapkan perpisahan dua hari lalu. Menurut Dilla kalau keduanya berpisah memang menyakitkan. Tapi jika semakin diteruskan, keduanya akan lebih terluka. Dimas menahan Dilla untuk pergi dan memohon sejadi-jadinya. Kasih sayang, waktu, dan kepercayaan sepenuhnya yang ia berikan untuk Dilla menjadi sia-sia. Rencana-rencana yang telah ia susun menjadi sirna. Kini, tidak banyak yang harus seorang Dimas lakukan selain menyembuhkan sendiri hatinya yang patah.
Beranjak dari ruangan itu. Dimas menuruni anak tangga dengan pikiran yang tidak karuan. Diliriknya detik jam yang sedang berdetak menunjukkan pukul 10.00 pagi. Ia langsung ke kamar mandi. Membasuh wajah berkali-kali. Tatapannya mengarah ke cermin, rambut gondrongnya begitu kusut. Kedua lingkar matanya mulai menghitam. Hari-hari setelah putus ternyata memberatkan diri untuk mengurusi penampilan.
Dari pagi hingga menjelang siang gerimis bergantian dengan hujan. Dan benar-benar mereda saat sore menjelang. Sepanjang hari Dimas menghabiskan waktu untuk duduk di teras belakang rumah. Menonton beberapa film kartun di laptop dan sesekali menatap layar ponselnya.
Dimas memegang tangkai cangkir yang berisi kopi. Disesapnya perlahan dan diletakkannya kembali cangkir itu. Sebatang rokok yang sudah terbakar ujungnya ia selipkan disela-sela jari. Dihisapnya dalam-dalam sebatang rokok itu. Lalu dihembuskannya membentuk asap-asap yang melingkar berturut-turut. Asap-asap itu kemudian beterbangan dan lenyap membaur dengan udara.
Kenangan tentang Dilla bergerak serupa awan di nirwana. Suara batinnya masih berucap ingatan mengenai perjalan kisah mereka yang cukup panjang. "Harga diri ini juga aku kasi ke kamu Dil" serunya dalam hati.
Bagi Dimas berbicara mengenai romantisme memang berlebihan. Tapi semua hal yang pernah mereka lakukan berdua terjadi atas nama cinta. "Dinding kamar adalah saksi bisu antara kita. Ia menyimpan segala rahasia yang paling rahasia. Merekam desahan halus yang paling halus bahkan suara tanpa kata-kata. Aku bahkan lupa siapa yang memulai, tapi dinding itu mengingatnya."