Sejak kapan anda menghormat bendera?
Saya sendiri, pertama kali, sejak berdiri dengan kaki baralas sandal merek Lily ketika SD di Senin pagi. Semasa SMP pernah anggota paskibra pengibar Sang Saka alangkah bangga. Saat SMA saya pengikut setia upacara detik-detik penaikan bendera Dwiwarna dan selalu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya meskipun suara jauh dari kategori merdu. Nah, setelah bekerja pada negara sesekali saya menjadi pembina upacara memimpin pengibaran bendera Merah Putih: perlambang gagah berani serta mulia suci.
Jika anda seorang muslim, sejak kapan anda berpikir bahwa ada persoalan antara menghormat bendera dan agama yang anda peluk? Karena saya seorang muslim, maka baiklah saya menjawab sendiri pertanyaan ini. Sungguh sangat ganjil. Seumur hidup saya, baru kali ini ada yang mempersoalkan menghormat (pada) bendera dari sudut pandang hukum agama Islam. BPIB mencetuskan tema ini sebagai sayembara menulis artikel. Ada-ada saja tetapi tentu ada udang dibalik batu.
Sebagai pendidik, saya beruntung pernah berkesempatan mengajar di sekolah bertaraf internasional. Para siswa berbeda-beda suku dan berlainan agama. Semua agama yang ada di Indonesia ada pemeluk teguhnya di sana. Tambahan lagi, siswa-siswi keturunan Yahudi dengan agama mereka. Salah satu yang istimewa dari mereka adalah setiap kali diselenggarakan upacara penaikan bendera, mereka izin untuk tidak mengikutinya. Alasannya, menghormati bendera dengan cara seperti biasa kita menghormatinya (yaitu dengan mengangkat tangan di atas bahu dengan jari-jari mendekati ujung bawah telinga) dikhawatirkan menimbulkan semacam syirik, menyekutukan Tuhan. Namun, tidak berarti mereka tidak menghormati bendera sebagai lambang negara. Mereka memiliki cara lain untuk itu. Bukan pula menandakan mereka tidak mencintai negeri ini, tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Islam sejauh yang saya pahami, mengajarkan penganutnya untuk menghormati benda-benda. Orang Islam menghormati bangunan masjid dengan shalat 2 rakaat. Tidak berarti menyembah masjid, tetapi bersyukur atas keberadaannya sebagai tempat ibadah. Nabi Muhammad merawat, menjaga, dan menamai benda-benda miliknya sebagai cara menghormati. Seperti saya kini menamai kendaraan (Winnetou) dan kucing (Grazo). Bahkan, dalam situasi gawat sekalipun, tidak diizinkan merusak bangunan, menebang pepohonan, termasuk mencabut sejumput rumput sebagai bentuk penghormatan pada benda-benda.
Menghormat (pada) bendera ada pada konteks yang sama.
Menghormati bendera itu pertanda mencintai tanah air, mencintai negara. "Mencintai tanah air termasuk iman", demikian bunyi Hadits yang kerap saya dengar. Itu sebentuk iman dan kepatuhan yang tulus tidak terhingga pada ajaran agama. Dalam Al Quran ada disebutkan perintah untuk mengusir penjajah yang berupaya merebut tanah air milik suatu bangsa. Itu sebentuk kecintaan lain luar biasa yang bersatu padu secara sempurna dengan keimanan. Para pahlawan dan segenap rakyat di masa lalu telah berkorban dengan ikhlas berjuang, dalam kecintaan dan keimanan, hingga Indonesia merdeka.
Bukankah seyogyanya kita bersyukur memiliki tanah air sendiri dan berdaulat, atas berkat dan rahmat-Nya? Tidakkah kita senang dianugerahi negara ini berikut sederet simbolnya: bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, Garuda Pancasila, dan Pancasila?
Orang Islam yang memahami agama Islam dan seorang pancasilais yang mengerti Pancasila tentu tidak akan membuka ruang dan mempersoalkan antara menghormati bendera dengan hukum agama Islam. Pun perkara yang serupa karena berpotensi menjauhkan jarak antara keagamaan dan kenegaraan. Sesuatu yang kontraproduktif dan mengundang konflik.
Pancasila dan agama (Islam), dua perihal yang bersandingan bukan bersaingan. Keduanya tidak untuk ditandingkan tetapi disandingkan. Pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa yang literat dan taat beribadat, merupakan saripati dari prinsip-prinsip agama. Dari agama Islam misalnya sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" bersumberkan ajaran ketauhidan, seperti surat Al Ikhlas. Dalam beberapa konteks, agama sebagai hipernim sedangkan Pancasila sebagai hiponim. Selalu selaras dan satu garis lurus. Karena itulah keduanya tidak patut dipertentangkan.