"Seorang pendusta tidak akan lagi dipercaya, sekalipun ia berkata benar." (Anonim)
Setiap kali saya masuk ke rumah makan Padang itu sebagai pelanggan setia, di pusat kota Bandung, pandangan mata selalu terbentur pada sebuah tulisan tangan.
Tertera di papan kayu, melekat di dinding, tampak elegan. Ukuran huruf-hurufnya besar sehingga mudah dibaca dengan nyaman. Bunyi kalimatnya: "Jujur adalah sesuai kata dengan perbuatan."
Jelas ditujukan pada setiap pengunjung untuk berperilaku jujur dalam kehidupan. Juga jangan darmaji (dahar lima ngaku hiji, akronim jenaka berbahasa Sunda, yang berarti "makan lima mengaku satu") di rumah makan itu, sekadar mengingatkan.
Tentang perilaku jujur ini saya jadi teringat lelucon Gus Dur.
Abdurrahman Wahid dikenal sebagai seorang negarawan yang suka bercanda. Beliau dikaruniai kemampuan luar biasa untuk berhumor-ria. Presiden Republik Indonesia ke-4 ini piawai menyampaikan lelucon dengan kefasihan berbicara dalam berbagai bahasa. Siapa saja yang mendengar kisah humornya bakal tak bisa menahan tawa. Sense of humour Gus Dur bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak sampai kepala mendongak, siapapun itu khalayaknya. Mulai dari rakyat biasa hingga presiden negara adidaya Amerika.
Sejarah mencatat, cucu Kyai Haji Hasyim Asy'ari ini sukses membuat Jacques Chirac, Bill Clinton, Raja Fahd, dan Fidel Castro tertawa bahagia dengan humor dan anekdot yang dilontarkannya. Tidak hanya semata karena sekadar lucu ceritanya, tetapi juga pesan yang disampaikan bernas isinya.
Salah satu humor Gus Dur berkaitan dengan tema kejujuran. Menurutnya, hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Jenderal Hoegeng.
Dua hal disebutkan di muka sebenarnya hanya prasyarat cerita. Teks humor biasa menyajikan beberapa hal di awal, untuk menggiring pembaca dengan sengaja sampai pada bagian akhir sebagai daya ledak tawa.