Diskursus Studi Quran (Quranic Studies) merupakan bidang studi yang berkaitan dengan penelitian terhadap Al-Quran. Sejarah kemunculan diskursus Studi Quran dapat ditelusuri sejak zaman awal Islam hingga saat ini. Berikut adalah beberapa tahapan penting dalam sejarah kemunculan diskursus Studi Quran yang sudah saya analisis dan rangkum:
Zaman Awal Islam
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga periode Khulafaur Rasyidin. Konteks perubahan zaman tersebut telah memaksa kaum Muslim untuk terus berijtihad dalam menafsir al-Qur'an agar senantiasa membumi.
Zaman klasik
Pada abad ke-8 hingga abad ke-14 Masehi. Tokoh-tokoh seperti Imam al-Tabari, Imam al-Qurtubi, dan Imam al-Zamakhshari melakukan penelitian mendalam terhadap Al-Quran dan menulis tafsir-tafsir yang terkenal hingga saat ini. Awal abad ke-8 tidak sedikit yang menjadi pengagum bahkan mengkultuskan pemikirannya, bahwa hanya penafsirannya yang paling benar. Tradisi kritik tafsir belum banyak diminati oleh para sarjana al-Qur'an, karena dianggap "tabu" jika dikritik.
Wacana Qur'anic Studies semakin berwarna
Qur'anic studies muncul sebagai proyek apologis missionaris yang bertujuan melakukan konversi (evangelism). Acapkali muncul sebagai proyek material kolonialisme yang didorong dengan hanya sekadar memenuhi rasa ingin tahu (intellectual curiosity).
Program khusus, Qur'anic studies disejajarkan dengan Bible studies
Sebagian besar universitas di Amerika Serikat juga hampir menyeluruh di universitas Barat memiliki program tersebut. Citra Barat mengenai dunia Islam baru menjadi lebih jelas fokusnya pada abad ke-11 M, Minat dunia Kristen Barat akan filsafat dipandang berperan dalam membentuk citra sangat positif mengenai Islam. Pelopornya adalah Gerbert dari Aurilac (Paus Sylverter II, 999-1003 M). Dari tempatnya belajar di Spanyol, ia mulai menyebarkan informasinya ke Inggris. Semenjak itu, upaya penerjemahan manuskrip-manuskrip Arab mengenai ilmu alam dan manusia mulai diorganisasikan secara besar-besaran.
Petrus menjadi penyebab utama ketidakobyektif-an orientalis
Ketika mengunjungi Spanyol pada 1142 M, Petrus terpesona kalangan Kristen berbahasa Arab yang hidup di bawah pemerintahan dinasti Islam. Petrus memanfaatkan mereka untuk menerjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin, dan juga hadis, biografi Muhammad, dan sejarah kaum muslim. Proyek ini dilaksanakan oleh Pedro de Toledo, dan mendapat bantuan seorang muslim bernama samaran Muhammad. ia meminta bantuan asistennya, Pierre de Poitier, untuk mencarikan pokok-pokok persoalan yang berpotensi dihujat. Hasil upaya Petrus disebut Naskah Cluny (Cluniac Corpus) menandai dimulainya studi ilmiah Barat secara besar-besaran. Salah satunya adalah terjemahan Apologia al-Kindi, sebuah perdebatan antara seorang muslim dan seorang Kristen pada masa Khalifah al-Ma'mun (813-833 M). Teks ini amat populer karena menampilkan perdebatan yang akhirnya dimenangkan pihak Kristen, meski banyak yang mencurigainya sebagai fiksi belaka. Satu abad kemudian, P.R. De Monte Croce (1243-1320 M) meneruskan gagasan Petrus. Ia adalah pendeta missionaris yang sangat keras memusuhi Islam. Croce menggugat al-Qur'an karena ayat-ayatnya dinilai kontradiktif dan memiliki kekaburan kronologis.
Zaman pertengahan
Abad ke-15 hingga abad ke-18. Dinamisasi studi al-Qur'an memiliki dua kecenderungan. Pertama, gerak sentripetal (bergerak menuju pusat) dan kedua, gerak sentrifugal (bergerak menjauhi pusat). Melalui gerak sentripetal, teks al-Qur'an selalu menjadi rujukan utama untuk pembenaran mengenai berbagai persoalan kemanusiaan dan tergolong sebuah teks yang melampaui teks (beyond the text).