Yogyakarta, 6 April 2024
Penanganan pelayanan pasien bpjs dipersulit. Seorang anak berusia 7 tahun, Adam Manaf, warga Sleman Yogyakarta ditolak berobat di Rumah Sakit Hermina pada Sabtu, 6 April 2024. Ayah Adam Manaf, Muhammad Rosul sekalu orang tua yang turut mendampingi mengatakan bahwa pihak rumah sakit Hermina menolak anaknya karena dianggap berobat di hari sabtu dan tidak mendapatkan kuota BPJS.
"Saya dan keluarga sering berobat ke R.S Hermina. Namun baru kali ini anak saya, Adam Manaf, ditolak karena berobat dengan menggunakan BPJS," terang Rosul saat ditemui di R.S Hermina. Adam menderita penyakit batuk yang tak kunjung reda. Semula, Adam berobat di rumah sakit Queen Latifa. Namun karena sakit batuknya tidak kunjung sembuh ia dirujuk berobat ke dokter Rina Triasih M.Med (Pead) Ph.D, Sp. A (K) yang berpraktek di R.S Hermina.
"Saya mendapatkan keterangan dari humas R.S Hermina kalau untuk pemeriksaan pasien BPJS ada kuotanya dan dibatasi di tiap dokter yang bertugas. Namun ketika saya tanyakan pada Dokter Rina, beliau malah kaget. Karena beliau merasa tidak diinformaskan sama sekali dari pihak manajemen R.S Hermina," kata Rosul sambil menunjukkan surat tanda terima yang dari pihak R.S Hermina yang ditandatamgani staf bagian humasnya.
Prosedur BPJS
Analis Manajemen Mutu Layanan Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan Triwidhi Hastuti Puspitasari mengatakan, pelayanan kepada masyarakat merupakan salah satu poin kesepakatan yang harus dilakukan oleh faskes. Jika terjadi penyimpangan, faskes dapat disanksi, mulai dari teguran lisan, tertulis, hingga pemutusan kerja sama.
"Untuk pencegahan, kami melakukan monitoring dan evaluasi dengan berbagai mekanisme, seperti supervisi yang melibatkan dinas kesehatan dan memberlakukan indikator-indikator kepatuhan," ujarnya.
Triwidhi menambahkan, pihaknya terus berupaya meningkatkan mutu layanan dengan berbagai inovasi. Beberapa di antaranya berupa antrean daring, display informasi jadwal operasi, simplifikasi layanan, dan validasi digital.
Yuli Farianti selaku Kepala Pusat Kebijakan Pembayaran dan Desentralisasi Kesehatan Kemenkes menjelaskan, fenomena pembatasan layanan oleh fasilitas kesehatan disebabkan berbagai faktor, baik dari sisi regulasi maupun manajemen faskes itu sendiri. "Jika penolakan pasien didasarkan atas adanya kuota bagi pasien peserta BPJS Kesehatan, hal itu tidak dibenarkan dan dikategorikan sebagai perbuatan diskriminatif sehingga dapat dikenai sanksi administratif," ujarnya.
Menurut Yuli, praktik penolakan pasien peserta BPJS Kesehatan perlu ditelusuri lebih lanjut. Sebab, terdapat sejumlah faktor yang bisa memengaruhi penolakan, di antaranya, keterbatasan tenaga kesehatan dan kurang memadainya alat kesehatan.