Kita tentu masih ingat kebijakan yang membuat heboh awal tahun ini. REGISTRASI SIMCARD. Heboh karena kebijakan yang tertuang pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 14 Tahun 2017 itu membatasi waktu registrasi ulang wajib. Jika tidak registrasi, maka akan terblokir. Begitu sanksi yang berlaku.
Tak ingin kehilangan nomor yang selama ini telah melekat menjadi identitas, masyarakat berbondong-bondong mengirimkan data diri ke nomor 4444. Termasuk saya pun demikian. Saya mendaftarkan dua nomor kartu saya.
Saya ingat, hari-hari itu ada pembatasan nomor yang didaftarkan untuk satu NIK. Namun kemudian, kebijakan pembatasan itu dianulir jua. Setiap orang boleh mendaftarkan nomor hingga tak terbatas. Sungguh kebijakan yang plin plan sekali.
Tapi saya tak akan membahas kebijakan yang berganti dalam hitungan bulan itu. Saya hanya merasa bahwa kebijakan yang goyah itu ternyata masih punya celah.
Melalui Tempo, Pak Menteri Kominfo, Rudiantara, pernah mengatakan bahwa tujuan dari aturan ini adalah untuk meminimalisir penyalahgunaan nomor pelanggan prabayar yang selama ini banyak dipergunakan untuk penipuan, penyebaran konten negatif alias hate speech.
But, see? Saya bahkan hingga bulan ini masih menerima SMS bernada penipuan seperti ini.
Lantas kemana tujuan registrasi SIM-Card bermuara? Apa tujuan itu gagal? Setelah rakyat Indonesia membuka identitas rahasia hingga Kartu Keluarga. Rasanya sungguh tak adil.
Saya bukannya pesimis, saya cukup optimis dengan program ini di awal. Karena seperti di negara tetangga, registrasi SIMCARD ini benar-benar berguna. Tapi setelah kebijakan ini berjalan, setelah kebijakan direvisi, setelah saya masih mendapat pesan-pesan penipuan. Rasanya kok saya menyayangkan kebijakan ini.
Dimana fungsi pengawasan kebijakan ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H