Untuk Kak Fahri
Assalamu’alaikum wr. wb.
Kak Fahri, aku tak mungkin bisa berbasa basi lagi. Jujur saat aku menulis surat ini, hati dan otakku seperti tak menyatu. Ada pergolakan antara apakah harus kutulis surat padamu, ataukah ku simpan sendiri. Karena aku tahu, kini Kak Fahri sudah punya Aisha. Sudah menikah dan tak mungkin goyah. Tapi aku tak ingin menyesal dua kali kak. Aku ingin melegakan diriku sendiri dengan mengatakan ini padamu. Karena sungguh aku tak terima dengan pemikiranmu. Pemikiran yang mana? Ah jangan Kak Fahri lupa.
Ingatkah Kak Fahri setelah bertemu dengan Ustadz Jalal dan Ustadzah Maemuna? Kak Fahri sempat berfikir bahwa aku sungguh terlalu. Karena tak mengatakan suka padamu terlebih dulu. Karena alasan sosial kita. Kak Fahri anak petani dan aku anak kiai.
Iya. Aku tahu Kak Fahri memang orang Jawa. Pun begitu juga Nurul kak. Nurul juga orang Jawa. Perempuan Jawa. Aku cukup tahu diri. Aku menahan diriku agar tak serta merta mengatakan suka padamu. Walau pada kenyataannya aku memang sangat suka padamu. Selama ini aku cinta sendiri. Cinta dalam diam selama berbulan-bulan. Oke anggaplah kita mengenyahkan Jawa atau suku apalah kita. Toh dalam budaya timur, budaya lingkungan kita, perempuan yang mengatakan cintanya pada laki-laki seperti sudah tercap sebagai perempuan yang aneh. Tak pantas. Dan ini sama anehnya dengan, mengapa Kak Fahri tidak berani memintaku hanya karena aku anak kiai? Sedang Kak Fahri merasa tak pantas karena anak petani.
Beberapa hari ini aku berfikir keras. Bukankah setidaknya laki-laki haruslah pandai membuat keputusan? Juga belajar mengikuti kata hati saat membuat keputusan? Bukankah itu juga bagian dari kodrat karena lahir sebagai laki-laki? Tegas. Berani. Dan.. tanggung jawab.
Kak Fahri adalah laki-laki cerdas, juga terpelajar. Apakah itu belum cukup jadi alasan untuk Kak Fahri memintaku lebih dulu? Memintaku menjadi pendamping hidupmu, toh memang selama ini hati Kak Fahri juga bergetar karena aku. Kak Fahri tentu ingat dengan kalimat ini. "Kau terpelajar, cobalah bersetia dengan kata hati."
Secara agama, aku tak menafikan lagi bila Kak Fahri salah satu yang terbaik. Dan benar memang, menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukanlah suatu perbuatan tercela. Persis seperti pemikiran Kak Fahri. Tapi kak, tetap saja aku perempuan. Memang harus ku akui, aku pernah berfikir, bagaimana kalo aku mengatakan suka padamu. Mengajakmu menapaki jalan pernikahan. Bukan hanya sekali. Tapi ku urungkan niatan itu dengan alasan. Mulai dari malu. Aku perempuan. Gengsi. Apa aku pantas menjadi istrimu. Apa kita bisa saling melengkapi. Dan banyak alasan lain. Tapi terang ku katakan Kak. Alasan paling mendasar adalah karena aku perempuan. Dengan sopan santun yang selalu diajarkan lingkunganku, orang tuaku, warga pesantren juga masyarakat rasanya aneh bila aku harus memulai mengatakannya.
Kini jangan coba Kak Fahri bandingkan aku dengan Aisha. Benar Aisha memang mengulurkan tangannya lebih dulu. Seperti yang Kak Fahri harapkan dariku. Tapi Kak Fahri juga tahu, Aisha warga Negara Jerman. Ia tumbuh dalam lingkungan aku, A-K-U, kamu K-A-M-U. Ceplas ceplos. Langsung pada intinya. Tak suka basa-basi. Perempuan yang di didik untuk straight to the point. Atau, lebih tepatnya, tegas. Terlebih Aisha adalah sosok yg cerdas, cantik, dan kaya raya. Aku tak mungkin membandingkan, tapi... ketika berfikir tentang ini, aku teringat Khadijah yang meminta Rasulullah untuk menikahinya. Ah tidak tidak, kita tak mungkin membandingkannya.
Semua kini sudah terjadi. Dan aku tak lagi ingin menyesali kejadian ini. Karena hari ini aku mendapat kabar yang luar biasa membahagiakan. Semoga ini juga kabar bahagia untukmu Kak Fahri. Ya, aku akan menikah dengan temanmu. Temanmu yang juga sedang menempuh S2 disini. Benar, dia Kak Khalid.