Lihat ke Halaman Asli

Eta Rahayu

Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Wonderful Indonesia, Jangan Sampai Sia-Sia!

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Wonderful Indonesia. Branding pariwisata yang mengusung tema “Eco, Culture, and MICE” ini menggambarkan kesatuan berbagai elemen pariwisata di Indonesia. Seperti people, culture, national beauty, natural resources, dan opportunity investment. Lantas, seberapa efektif jargon ini untuk menarik wisatawan internasional?

Indonesia memiliki berbagai keunggulan dalam budaya dan keindahan alamnya. Tapi masih ada beberapa yang dalam pengelolaan dan pengembangannya kurang maksimal sehingga kurang terangkat ke publik. Sebut saja keris Indonesia sebagai karya agung warisan kebudayaan. Juga batik Indonesia yang resmi dimasukkan dalam 76 warisan budaya oleh UNESCO di Uni Emirat Arab. Batik Indonesia dinilai sarat dengan teknik, simbol, dan budaya yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat berbagai dekade. Tak akan mati.

Lainnya, wayang identik dengan Indonesia. Pasti! Tapi, hanya wayang kulitlah yang ditunjuk dan diakui oleh UNESCO sebagai wayangnya Indonesia. 7 November 2003 Wayang Kulit dinyatakan sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. Dan yang belum lama terjadi, alat musik angklung dikukuhkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia pada 18 November 2010 di Nairobi, Kenya. Angklung diakui masuk dalam "Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity". Tapi, apakah sederet pengukuhan tersebut mampu mendongkrak penghasilan pariwisata Indonesia?

Masih jauh dari efektif

Pariwisata. Ambang SOS alias emergency pernah digulirkan oleh Rhenald Kasali di sebuah harian nasional pada akhir tahun 2004. Argumen tersebut didasarkan data ranking dan skor yang dihimpun World Travel & Tourism Council dan World Bank. Bagaimana tidak? Pariwisata Indonesia dengan destinasi unggulan seperti Bali, Jogja dan Lombok selama lebih dari empat dasa warsa belakangan ini belum pernah sekalipun direncanakan, dikelola, dipasarkan dan dikontrol secara konseptual, terstruktur, sistematis, profesional dan proporsional. Akibatnya, dalam mengembangkan pariwisata, kita hanya mengandalkan keberuntungan dengan model pengelolaan yang seadanya.

Dari sejak jaman Orde Baru hingga Reformasi sekarang, pemerintah selalu memiliki kementerian sendiri untuk memajukan dunia pariwisata. Tapi nyatanya? Jumlah kunjungan wisata dalam dan luar negeri baikan merangkak. Bila pada tahun 1991, misalnya jumlah turis ke Indonesia berjumlah 2,6 juta dengan devisa sekitar 2,4 milyar dollar AS, dalam jangka dua puluh tahun (2010), jumlah turis yang datang menjadi 6,4 juta orang dengan devisi sekitar Rp 34 trilyun.

Dibandingkan dengan  Malaysia. Tahun 1990, negeri serumpun ini bisa memikat 7,5 juta wisatawan dan mengeruk devisi 4,5 milyar dollar AS. Dan 2010, mereka telah berhasil meraup 23,65 juta turis mancanegara. Ironisnya, dua jutaan lebih jumlah tersebut disumbang oleh wisatawan dari Indonesia!

Indikatornya semakin jelas bahwa Wonderful Indonesia belum mumpuni untuk memekakan telinga para turis. Jadi harus ada solusi lain guna pembenahan pariwisata agar lebih berpijar lagi. Disini perlu adanya rumusan masterplan yang holistik, sistematik dan integral, yang dijabarkan dalam sebuah tourism strategic plan berkelanjutan dengan rincian program kerja sesuai dengan potensi dan khasanah masing-masing destinasi. Penggabungan sektor privat dan publikpun menjadi wajib hukumnya.

Bukankah ini potensi penambah devisa terbesar untuk negeri ini? Yang dibutuhkan adalah kemauan yang kuat dan kebijakan yang jelas. Dengan kekayaan budaya dan alam yang dimiliki Indonesia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia adalah The Real Wonderful World, yang tidak akan pernah habis untuk digali!

*) Sekali lagi daripada masuk Recycle bin :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline