Lihat ke Halaman Asli

Eta Rahayu

Urban Planner | Pemerhati Kota | Content Writer | www.etarahayu.com

Citra Oh Citra

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beruntung namaku Eta, pun panggilan yang disematkan tak terpaut jauh, Tata. Coba kalau namaku citra, mungkin aku sudah coba mondar mandir ke dispendukcapil untuk ganti nama. Ah pasti ribet banget. Gak kebayang kalau harus masuk pengadilan, mondar mandir beli materai dan fotocopy. Kadang - kadang ada yang minta map khusus. Mungkin itu cara klasik, belakangan mungkin sudah berganti dengan upload file. Mungkin.

Haha. Ah belum - belum kok aku ketawa ya, kenapa aku ketawa? Entahlah. Satu yang pasti, aku yakin, renyah juga ketawaku kali ini.

Bukan apa-apa. Bukan berarti ini tawaku yang bercampur tepung goreng. Bukan. Malam ini aku ingat, pada citra. Sejujurnya aku juga tak tau siapa citra, tapi entah kenapa belakangan jadi akrab ditelinga. Satu satunya citra yang aku ingat, umm salah satu kontestan yang melenggang membawa mobil dan uang yang entah dalam bentuk cek atau langsung ditransfer, di salah satu program tv swasta. Terakhir aku mendengar suaranya, begitu sedih dan menusuk, ya saat ia menyeru "terlalu sadis caramu!".

Ah sebenarnya akupun tak tau citra. Lalu kenapa aku teringat pada citra.

**

Citra oh citra. Belakangan aku mengenalmu pada sesuatu yang tak berwujud. Bukan wanita berparas cantik dengan heels 18 senti. Bukan pula gadis kecil yang sering dipanggil teman sebaya. Ah sebenarnya aku juga tidak mengenalmu. Aku hanya mendengar. Aku hanya membaca. Apa? Mimpi. Ah syukur aku tak pernah memimpikan citra.

Citra. Sepertinya kamu sering berubah. Tak lagi dirimu seutuhnya. Kamu bertambah, bisa dibilang berubah. Dengan sedikit sentuhan yang entah dari mana asalnya.


Citra. Mencitrakan. Dicitrakan. Pencitraan. Bercitra.

Sungguh kamu hadir dalam nuansa yang bermacam macam. Ibarat kedelai, kamu akan disebut tempe, tahu, kecap, atau bisa jadi sari dele. Tampilnya beda. Maknanya beda. Tapi kedelai tetaplah kedelai. Pun begitu juga kamu citra. Citra tetaplah citra.

Ini akan sama jika kamu berfikir tentang kamu yang baik dan buruk. Citra baik dan citra buruk, gamblangnya. Ini akan sama saja dengan kedelai baik dan kedelai tak baik. Ah untuk ciptaan sang kuasa, apa iya aku harus menyamakannya denganmu dengan menyebutnya, maaf, kedelai buruk? Ah aku tak seberani itu. Iya kamu, citra entah dari mana asalmu, mungkin kamu bermula dari ruang kosong. Begitulah. Aku tak tau harus melanjutkannya seperti apa. Tapi jika kamu ingin aku tak seperti ini, tolong... Tolong, beri aku argumenmu supaya pikiranku bisa terbuka untuk tak menyebutnya buruk. Aku tunggu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline