Lihat ke Halaman Asli

Final ISL dan Penyiar Berisik

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14154223231260742643

[caption id="attachment_373253" align="aligncenter" width="546" caption="twitter.com"][/caption]

Pertandingan laga final berjalan di menit 53. Babak kedua. Mata kami tidak lepas menatap si bundar di TV. Bola dari kaki Toni Sucipto, Haryono, Ferdinand Sinaga, Firman Utina dan pemain Persib lain berhasil dipatahkan Boaz Sallossa. Bola berpindah ke Robertino Pugliara, Nelson Alom, Ian Kabes, dan pemain Persipura lainnya. Aku dan sulungku tidak menyaksikan pertandingan dari awal. Channel TV masih digunakan acara kesayangan si bungsu. Sulungku masih les drum. Kami harus merayu agar channel diputar acara sepak bola. Gol Persipura di menit kelima-keenam hanya terdengar di radio mobil ketika pulang kerja. Keluar pintu tol Sidoarjo disiarkan gol Ian Kabes. Gol lain pun terlewatkan. Skor terpampang di sudut kiri atas menunjukkan 2-1 untuk Persib. Kami hanya bisa membayangkan bagaimana Bio Paulin seorang back harus tertunduk lesu meninggalkan lapangan. Sakit mungkin… Sakitnya tuh disini! Kalau dia lebay meniru lagu popular terkini. Ferdinand Sinaga pasti suka, meskipun meringis ditenggor Paulin. Kubu Persipura pasti mengumpat-umpat wasit meski tidak ketahuan. Mempertahankan juara untuk kelima berikutnya akan berat dengan sepuluh pemain. Persipura menjadi juara ISL (Indonesia Super Liga) pada tahun 2005, 2009, 2011, dan 2013.

Tendangan bebas Utina melesat mendekat daerah pinalti. Katanya terjadi kemelut dekat gawang, sehingga Imanuel Wanggai tanpa sengaja menyodok ke gawang sendiri. Kedudukan 1-1, kami tidak bersaksi. Sampai babak kedua dimulai. Kecerdikan Utina kembali mengoper bola pada M. Ridwan. Tanpa ragu dia menaklukkan kiper Dede Sulaiman. Gol bertambah untuk Persib. Menit ke 7 babak kedua kedudukan 2-1. Gol menjadi optimisme pemain. Mereka ingin menoreh sejarah setelah 19 tahun tanpa mahkota. Kami mulai berebut tempat duduk. Anakku mengangkat kacamatanya, mengepaskan sudut pandangnya. Duduknya persis berhadapan di tengah layar televisi. Sepak bola adalah favoritnya. Umur 6 tahun dia sudah ikut sekolah sepak bola (SSB). Dia berpindah-pindah ikut SSB. Jadi seperti hanya koleksi kaos SSB. Dia memilih SD yang ekstranya sepak bola. SD yang dipilih kebetulan sering juara Futsal. Akhirnya sampai SMP sekarang yang ditekuni futsal. Sepak bola membuatnya belajar peta Indonesia. Keingintahuan markas-markas klub mendorong belajar mana itu Palembang, Sigli, atau Banjarmasin. Kalau pergi pun, pesannya adalah kostum klub bola. Fanatisnya tatkala Deltras Sidoarjo berkiprah di ISL.

Setelah bergantian saling serang, akhirnya sang juara bertahan melesatkan gol. Boaz pada menit ke-80 menjebol gawang Wirawan. Kedudukan menjadi 2-2. Hebohnya di lapangan diikuti dengan hebohnya sang penyiar. Biasanya penonton mencela pemain lawan. Gerutunya bisa “ayo kejar! Maju-maju”, “wah lepas…kanan samping”, dan seterusnya. Meskipun pemain tidak dengar penontonnya antusias seperti menggiring bola sendiri. Penonton sendiri seolah-olah berdiri di atas lapangan. Bahkan bisa menjejak teman di depannya. Saking semangat dan terbawa emosi. Sulungku tidak. Mungkin karena sering bermain bola langsung. Dia paham betapa sulitnya mendekat gawang. Justru yang menjadi gerutunya adalah penyiar TV. “Wah berisik…”,sungutnya. “Apanya?”, selidikku. ”Iya..Iya…sudah tahu, ini aku lihat. Nggak heboh kok”, ngedumel-nya lagi. “Apanya?”, sekali lagi kataku. “Apa pemainnya?”. “Tidak…itu lo penyiarnya. Sok dramatis. Ribut..aja”, jelasnya. “Oh?”, sahutku. “Mungkin ingin supaya pertandingannya atraktif. Biar meriah…kalau nggak suka ya bisa dikecilkan volumenya”. Pikirku memang berisik sebenarnya. Sudah sama-sama melihat di tayangan kok masih dihingar-bingarkan. Tetap perlu penyiar tetapi memperjelas informasi. Siapa yang menggiring, diumpan pada siapa, atau apa saja. Berbeda dengan siaran radio. Visual kita diwakilkan dengan audio penyiar. Kalau tanpa meledak-ledak, emosi di lapangan tidak sampai pada pendengarnya. Sebenarnya penyiar itu memberi warna tersendiri untuk acara sepak bola. Gayanya berbeda dengan jebrat-jebretnya atau ungkapan heboh lainnya. Dia juga diterima selayak selebriti. Suara kehebohan penyiar tetap kami nikmati hingga usai pertandingan. Dengan drama adu finalti akhirnya 5-3 untuk Persib. Persib membawa tropi juara kembali setelah 1995. Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan pada Jumat Malam, 7 November 2014 menjadi saksi. Selamat untuk para bobotoh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline