Lihat ke Halaman Asli

Konsep Bahagia, sebagai Dasar Revolusi Mental

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan Joko Widodo di Kompas 10/5/2014, atau slogan kampanyenya tentang Revolusi Mental sungguh mengena. Bangsa Kita Indonesia, memang sudah sangat membutuhkan revolusi mental(bukan lagi evolusi) Sebab, gejala kerusakan mental bangsa sudah demikian kosmopolit dan masif terjadi dalam berbagai sektor dan perlu diambil tindakan penanganan segera.

Dari berita akhir-akhir ini makin terlihat bahwa kerusakan mental betul-betul sudah sampai level yang membahayakan, karena menerpa dunia pendidikan khususnya dan anak-anak kecil pada umumnya, sebagai generasi penerus. Kasus meninggalnya Renggo Kadafi (11), siswa kelas V SDN 09 Makasar Jakarta Timur yang dianiaya kakak kelasnya tanggal 28/4/2014 menggambarkan hal itu. Kasus Renggo belum usai, satu korban meninggal lagi Jihan Salsabila (10) siswa kelas III A SDN 14 Muara Enim yang dianiaya oleh 4 teman laki-laki sekelasnya pada 9/5/2014. Lalu kasus Emon yang menjadi predator seks 110-an anak dalam kasus sodomi dahsyat. Belum lagi geng motor brutal di Jakarta, Makasar, Garut yang didominasi anak-anak setara SMP-SMA yang sangat meresahkan masyarakat.

Memulai Revolusi Mental

Darimana revolusi sikap mental dilakukan? Yang paling penting, yaitu Pertama, dalam dunia pendidikan, terutama dunia SD. Pendidikan SD harus mengutamakan pendidikan yang mengembangkan karakter atau budi pekertinya supaya menjadi positif, kuat dan luhur. Itulah dasar nation yang baik. Termasuk juga, mendidik dan mengembangkan budi pekerti dan karakter guru atau pimpinan sekolah, sekarang kurang mendapatkan pendidikan ’keguruan’ seperti jaman IKIP dahulu.

Kedua, aparatur negara atau pegawai negeri. Bahkan di Jakarta, karakter dan budi pekerti aparaturnya yang sempat membaik, konon, kini mengendur kembali. Mereka kembali mulai berani meminta uang kepada rakyat yang dilayaninya. Katanya, karena mereka melihat Gubernurnya sedang berkonsentrasi ke pemilihan Presiden, jadi tak sempat lagi mengurus birokrasi pemerintahan.

Ketiga, kepada eksekutif atau karyawan perusahaan. Karyawan perusahaan bsa mejadi agent of change dalam perilaku, karena mereka terbiasa dengan SOP, Peraturan, 5 R, TQM, sistem Manajemen, Promosi, Demosi, Mutasi. Karyawan yangbermental positif akan menularkan perilakunya kepada keluarga. Disini kami sudah sejak 1992 bergelut memberikan pengembangan Sikap mental bagi karyawan perusahaan.

Keempat, kepada pemuka agama. Pemuka agama jelas merupakan influencer kepada umatnya. Jika ucapan atau ceramahnya berisi kebaikan atau kebijaksanaan, maka umat akan relatif terbentuk menjadi sosok bermental positif.

Kelima, kepada orangtua. Orangtua adalah pimpinan sel terkecil bangsa negara yang vital, yaitu keluarga. Orangtuanya bermental positif, sel keluarga akan menjadi positif. Orangtuanya bermental negatif, hampir pasti anak-anak yang dilahirkannya akan ’idem ditto’ juga.

Apa yang Harus Ditekankan

Yang harus ditekankan adalah tentang: Konsep Membahagiakan Orang atau Pihak Lain. Ini Yang sangat penting! Mengapa? Karena dengan membahagiakan orang lain –sebagai ciptaan Tuhan-, maka sesungguhnya kita telah membahagiakan Tuhan. Dengan menyusahkan apalagi menyakiti orang atau pihak lain, maka kita telah menyakiti Tuhan! Dengan landasan ini, diharapkan orang akan lebih mudah menjalankan perilaku aktualnya sehari-hari dengan positif, karena selalu ditujukan untuk membahagiakan Tuhan. Dan ilmu apa yang lebih indah, kuat, luhur dan agung dari pada Membahagiakan Tuhan?

Guru akan berusaha membahagiakan muridnya dengan melaksanakan pedagogi putih dan bukannya memberikan beban/metode pelajaran membosankan atau mematikan jiwanya. Aparatur negara akan membahagiakan rakyat yang dilayaninya, dengan melayani tanpa pungutan liar dan semangat dalam bekerja. Karyawan juga bekerja sepenuh hati dan jika melakukan tuntutan dengan damai, logis dan analitis. Pemuka agama membahagiakan umatnya dengan memberikan ceramah, tuntunan, wejangan yang menyejukkan dan membuat umat menjadi pribadi yang santun, luhur dan berkarakter positif. Orangtua juga berusaha membahagiakan anak dengan menjadi orangtua yang humanis dan berusaha memahami situasi dan jaman anak dalam memberikan pengertian.

Slogan yang pas untuk memulai gerakan revolusi mental ini adalah 5 M, yaitu: Mulai dari sekarang, Mulai dari Diri Sendiri, Mulai dari Hal-hal Kecil/sederhana, Mulai dengan minimal Tidak Menyusahkan Orang Lain, dan Mulai dengan berusaha Membahagiakan Orang Lain.

Detailnya, semua akan diajarkan untuk membahagikan personal stakeholdernya: Guru akan berusaha membahagiakan rekan guru, pimpinan dan terutama siswa sekolah. Aparatur akan berusaha membahagiakan pimpinan, rekan dan rakyat yang dilayani. Karyawan akan berusaha membahagiakan pimpinan, perusahaan, sejawat, anak buah, klien, konsumen, dan lingkungannya. Pemuka agama akan berusaha membahagiakan jemaah, lingkungan sekitar serta kaum dhuafa. Orangtua akan berusaha membahagiakan anak-anak, tetangga, pimpinan RT dan RW-nya.

Tentu saja, pengajarannya tidak hanya melalui ceramah, tetapi diikuti dengan suatu behavioral practices dan ditambah dengan satu kata ampuh yaitu: Teladan. Jika para superordinat seperti Guru, Orangtua, Pemuka Agama dan Pimpinan Aparatur Negara justru meneladankan sikap atau perilaku negatif dalam kesehariannya, maka sudahlah...semuanya akan sia-sia belaka. Jokowi dalam praksisnya mulai dari Walikota sampai Gubernur sudah memberikan banyak teladan kepada kita semua sebagai rakyat. Sekarang giliran kita semua membangkitkan militanisme untuk bermental positif untuk membahagiakan orang lain di sekitar kita...

Drg. T.A. Tatag Utomo, MM.,ASM

Direktur Pendidikan KPPSM F.X. Oerip S. Poerwopoespito




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline