Masyarakat Minangkabau lebih mengenal mushola dengan istilah surau. Sama halnya dengan mushola, surau adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat ibadah namun berukuran relatif lebih kecil dibandingkan dengan masjid. Biasanya surau dibangun di atas tempat yang paling tinggi atau setidaknya lebih tinggi dari bangunan lain. Di Minangkabau untuk kebudayaan dan pusat aktivitas masyarakat umumnya dipisahkan dari masjid dan dilaksanakan di surau, sehingga surau berfungsi sebagai tempat shalat sehari-hari, tempat mengaji, belajar agama, tempat merayakan hari besar Islam, tempat bertemu, tempat tidur pemuda, hingga tempat menginap orang-orang yang berkepentingan (guru mengaji atau pemuka agama) dan lain sebagainya. Kegiatan yang paling digemari disamping mengaji diantaranya mempelajari pencak silat, randai, hingga memainkan alat musik tradisional seperti talempong. Sesuai dengan falsafah Minangkabau "Adat sandi syarak, syarak basandi kitabullah." Rangkaian kegiatan tersebut sekaligus membentuk karakter yang berguna untuk mereka kelak dimasa depan.
Tepatnya di Jorong Guguak Panjang, Nagari Sumanik, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, terdapat sebuah surau yang telah berdiri jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, sehingga termasuk ke dalam deretan surau tertua di Kabupaten Tanah Datar. Pada awal berdirinya, surau ini terbuat dari kayu dengan empat tiang penyangga yang cukup besar. Atapnya terbuat dari ilalang ,sehingga pada waktu itu diberi nama Surau Atok Lalang (Surau Atap Ilalang). Hingga sekarang sebutan tersebut masih melekat di benak warga sekitar. Arsitekturnya sederhana, bangunannya terdiri dari dua tingkat, satu ruangan didekat pintu masuk dan dua jendela disetiap sisinya. Untuk mencapai lantai kedua diharuskan menggunakan tangga yang disediakan oleh pengurus surau. Bagian halamannya dikelilingi oleh parit dan tepat di depannya terdapat sebuah kolam ikan milik warga. Bagian bawahnya dimanfaatkan oleh petani sebagai tempat untuk menyimpan benih tanaman dan hasil panen merekas selain di rangkiang.
Letak geografis surau ini terbilang sangat strategis, karena berada tepat di perlintasan orang-orang yang hendak menyeberangi lembah serta sebagai tempat untuk beristirahat para petani seusai bekerja. Suasananya nan teduh dan sejuk membuat orang-orang betah untuk berlama-lama disana. Di sekitar lembah juga terdapat enam luak (tapian) yang memiliki sebutannya masing-masing, misalnya luak tolang. Disebut begitu karena disekitar area luak banyak tumbuh batang tolang, lalu luak saroman (serupa) yang asal sebutannya dari dua mata air yang berdekatan. Keberadaan luak tak kalah jauh pentingnya dibandingkan surau. Biasanya setiap subuh, masyarakat sekitar berbondong-bondong menuju kesana untuk menyuci pakaian, mengambil air minum dan ada juga yang shalat diarea sekitarnya, misalnya saja di luak tolang ada sebuah batu besar yang dimanfaatkan sebagai tempat shalat oleh ibu-ibu. Sesuai dengan kesepakatan bersama, luak-luak yang ada tidak mencampur-baurkan antara laki-laki dan perempuan. Interaksi yang terjalin disana tak jarang membuka peluang bisnis bagi yang sedang mengalami kesulitan dalam hal finansial, misalnya saja tawaran untuk ikut bekerja di ladang petani lainnya.
Walaupun dengan kondisi yang sangat sederhana, tanpa listrik, jalan tanah yang selalu becek pada musim penghujan, keberadaannya sangat mempengaruhi siarnya Agama Islam di Nagari Sumanik serta nagari di sekitarnya. Banyak orang yang datang kesana untuk belajar. Anak-anak, pemuda dan pemudi menjadikan surau sebagai tujuannya untuk menuntut ilmu seusai dari sekolah. Surau ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1980 ditandai dengan banyaknya prestasi yang ditorehkan dalam ajang-ajang bergengsi. Pada waktu itu, guru yang mengajar memiliki berbagai keterampilan disamping handal membaca Al-Qur'an. Beliau merupakan satu-satunya orang berpendidikan tinggi dengan pendidikan terakhir di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kota Batusangkar. Nama beliau adalah Ramlizar, namun orang-orang biasa memanggilnya ayah ujang. Pada waktu mengajar, ia juga dibantu oleh dua orang pengajar lainnya.
Bukan hanya pengajarnya yang hebat, namun murid-muridnya memiliki kemamuan yang kuat untuk belajar. Mereka menjadikan guru sebagai idola, orang yang disegani, dan surau menjadi tujuan setelah kegiatan lainnya, bertolak belakang dengan kondisi pendidikan masa sekarang dimana guru sering dilecehkan oleh muridnya sendiri. Pada umumnya, sepulang sekolah dan membantu orang tua mencari pakan ternak, mereka bergegas ke surau hanya untuk sekedar berinteraksi dengan teman-teman yang lain.
Pembelajaran di surau ini umumya dilaksanakan pada malam hari dan terkadang pada siang hari. Kegiatan belajar pada malam hari biasanya dilaksanakan setelah shalat maghrib. Seusai belajar, mereka biasanya tidak pulang kerumah. Mengingat keselamatan murid-murid yang berkediaman jauh dari surau, maka guru menyepakati bersama pihak orang tua agar memperbolehkan mereka untuk menginap. Laki-laki tidur di lantai satu, sedangkan perempuan di lantai dua. Tujuan lain dari tidur di surau adalah agar anak-anak terlatih bangun lebih awal, rutin menunaikan Shalat Tahajud dan Shalat Subuh berjamaah. Setelah itu biasanya diadakan piket pagi yang pelaksanaannya sesuai jadwal yang telah disepakati. Kegiatan belajar pada siang hari hanya dilaksanakan pada hari senin, rabu dan jum'at setelah Shalat Dzuhur. Pada hari-hari tersebut biasanya belajar mengenai seni membaca Al-Qur'an. Khusus pada hari minggu, pembelajaran berlangsung dari pukul 09:00 hingga pukul 13:00. Selain belajar mengaji, murid-murid juga diajarkan mengenai fiqih, tata cara berpidato (mubaligh), memainkan alat musik tradisional, nyanyi-nyanyian islami, hingga olahraga bola voli. Bahkan, surau ini dulu memiliki klub voli putra dan putri yang sering berlaga dalam berbagai pertandingan tingkat nagari (kelurahan). Beragam prestasi yang ditorehkan oleh surau ini diantaranya selalu menjuarai MTQ yang rutin dilaksanakan tiap tahunnya oleh tiap-tiap masjid yang ada di Nagari Sumanik dan sempat beberapa kali menjuarai perlombaan bola voli. Orang-orang sering menyebut jika ada murid dari surau ini yang ikut serta pada MTQ, banyak peserta lainnya yang merasa pesimis akan kemenangannya. Mayoritas lulusan surau ini berhasil mengembangkan kemampuannya dengan menjadi guru mengaji dan penceramah di berbagai tempat.
Pada tahun 2010, surau ini direnovasi secara besar-besaran. Desainnya pun jauh berbeda dari desain yang lama. Hal ini merupakan wujud penanggulangan dari banyaknya keluhan warga sekitar yang menyebut bahwa surau ini sudah terlalu tua dan sudah tidak layak untuk digunakan. Setelah dibangun kembali, satu-satunya hal yang tersisa adalah liang bekas bangunan Rangkiang (lumbung padi). Dau Ombak (pemuka agama) berharap agar dapat menghidupkan kembali suasana surau seperti dulu, namun hasilnya berbanding terbalik dengan harapan. Seiring dengan mewabahnya dampak globalisasi, anak-anak tak lagi berminat untuk belajar mengaji dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan bermain gawai di rumah dan orang tua sudah tak acuh lagi dengan perihal tersebut. Surau itu sekarang hanya digunakan pada hari raya ied semata. Sayangnya hingga sekarang belum ada tindakan lebih lanjut dari elemen masyarakat untuk membenahi situasi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H