Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Pilihan: Islam dan Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernah suatu kali saya ditanya oleh salah seorang sahabat, sebuah pertanyaan tiktok yang harus dijawab seketika tanpa berpikir lama-lama. Dalam kesempatan itu, teman saya menanyakan “Islam atau Indonesia?”. Mungkin karena kesempatan berpikir yang sangat singkat, waktu itu saya menjawab “Indonesia”. Jawaban tersebut muncul karena refleks. Sebagai hasil berpikir sepersekian detik–kalau tidak mau dibilang nggak mikir.

Hari ini, setelah saya memikirkan dan merenungkan pertanyaan itu kembali, saya menarik kesimpulan unik. ternyata berapapun waktu yang diberikan, sepertinya pilihan saya tetap pada “Indonesia”. Bukan karena Islam tidak penting buat saya. Bukan pula berdasarkan hadits yang katanya maudhu’ , tapi shohih maknanya: “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air sebagian dari iman). Tapi murni karena keberadaan Indonesia lah, umat Islam di nusantara mampu beribadah dengan khusyu’ dan khidmat.

Mari sejenak kita menelisik tragedi Rohingnya. Di tengah penolakan suaka berbagai negara, kelaparan, dan rasa sakit, mungkinkah muslim Rohingnya bisa sholat lima waktu di atas kapal dengan khusyu’ sebagaimana yang bisa dilakukan umat muslim di Indonesia? Tentu tidak.

Atau, mari kita lihat negara-negara Timur Tengah yang lebih ‘islami’ dibandingkan Indonesia. Ada sederet negara seperti Mesir, Libya, Yaman, Suriah, Irak, dan masih banyak lagi. Kesamaan di antara negara-negara tersebut yang patut kita garis bawahi, mengapa di negara tersebut terus terjadi konflik? dan ironisnya konflik-konflik tersebut justru terjadi antar umat Islam.

Di sinilah saya melihat bahwa Indonesia adalah negara yang sangat ideal. Mayoritas muslim tapi bukan negara Islam. Tercatat, 12,7 persen pemeluk Islam dunia berada di Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah manifestasi Islam itu sendiri. Cinta kasih, saling menghormati, dan toleransi. Indonesia mampu mengakomodasi berbagai suku, ras, dan agama dalam persatuan dan kesatuan. Kita tentu tahu pahlawan-pahlawan seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Kapiten Pattimura dan Christina Masrtha Tiahahu. Ukhuwwah wathaniyah telah mengikat mereka semua ke dalam satu perjuangan untuk tujuan yang sama, Indonesia.

Jujur saya kecewa dengan gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam, menuju khilafah islamiyyah dan sejenisnya. Yang katanya ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam kaffah. Apalagi yang terang-terangan menyatakan Pancasila dan UUD 1945 haram; Hormat pada Sang Merah Putih dikata syirik; dan lain sebagainya. Justru di mata saya gerakan-gerakan tersebut sangat berpotensi menebar permusuhan dan perpecahan. Bukankah Islam adalah rahmatan lil alamin?

Akhirnya, saya yakin bahwa kecintaan antara Indonesia dan Islam bukanlah dua hal yang akan saling mereduksi. Cinta kepada Islam harusnya mencintai ajaran-ajaran Allah yang disampaikan Muhammad. Termasuk di dalamnya persatuan, cinta, dan kerukunan. Sedangkan cinta kepada Indonesia, adalah wujud syukur karena negara adalah anugrah dari tuhan. Bukan sebagai pengingkaran eksistensi Islam.

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman. Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.“-QS. Ibrahim: 35. Sebuah bukti kedalaman cinta Ibrahim pada tanah airnya. (*)

seorang awam yang ingin menjadi Cendikiawan Muslim,
Afkar Vyan Tashwirul

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline