Pagi ini menjadi hari paling bahagia untuk Danisa, ia dipromosikan untuk menduduki jabatan barunya. Danisa menyambut jabatan barunya itu dengan suka cita, pekerjaan baru, karier baru, dan tempat baru pula. Tidak ada yang lebih membahagian dalam hidupnya selain bisa menempati kantor barunya ini.
Selama masa adapatasi di kantor barunya, ia didampingi oleh Assistant Vice President --yang posisinya jauh lebih tinggi dibandingkan posisi yg ia duduki saat ini, bernama Elang Prambudi. Mas Elang, begitu panggilan Danisa untuknya, mengajarkan semua pekerjaan yang harus Danisa lakukan. Mas Elang ini orangnya baik, bertanggung jawab, dan tidak bossy, walaupun ia menduduki jabatan tinggi namun ia tetap ramah terhadap semua orang di kantor.
Seminggu berlalu, Mas Elang masih sering menanyakan kabarnya, terutama kabar pekerjaan baru Danisa. Hubungan mereka cukup dekat, memang karena Mas Elang orang yang terlalu ramah dan bersahabat. Keakraban yang diciptakan oleh Mas Elang membuat sensor elektromagnetik di lubuk hati Danisa menggetarkan sengatan-sengatan tak biasa, wajahnya lebih sering merona, dan bibirnya tidak pernah berhenti tersenyum.
Hari-hari berlalu, minggu-minggu berganti menjadi bulan, Danisa tidak pernah melewatkan sedetikpun untuk tidak bercakap-cakap dengannya, walaupun hanya sekedar bersenda gurau yang penting ia bisa melewatkan hari ini bersama Mas Elang.
Hubungan yang semula hanya berlandaskan sebuah pekerjaan, perlahan berubah menjadi sebuah diorama. Diorama hati dua manusia yang merasa ada ketertarikan tersembunyi. Mereka merangkai, bermain, dan bersenang-senang dengan hati masing-masing. Baik Danisa maupun Mas Elang, sama-sama percaya bahwa hubungan ini hanya sekedar penyemangat dikala penat.
Mas Elang sebagai lelaki normal masih ingin merasakan bagaimana membuat seorang wanita jatuh hati dan merasa nyaman, sedangkan Danisa sebagai seorang wanita normal yang sedang merasa hampa menerima dengan baik keinginan Mas Elang. Danisa tidak pernah tahu ia akan terjebak dan tersesat dalam permainannya sendiri. Menciptakan sebuah hubungan rahasia, hanya Tuhan, Danisa dan Mas Elang yang tahu.
Ketika seorang wanita terlalu merasa nyaman dengan kehadiran seorang pria, ia tidak akan pernah rela melepaskannya. Kenyamanan adalah kunci utama seorang wanita memilih pria yang berhak menempati hatinya. Danisa tahu ini tidaklah mungkin, mengingat Mas Elang bukanlah seorang pria bebas, pria yang bebas ia cintai.
Disaat Mas Elang asik bermain dengan perasaannya, Danisa tidak pernah bisa menolaknya. Kini, terlambat bagi Danisa untuk merusak diorama ini, diorama yang telah ia bangun dengan penuh pengharapan akan menjadi sebuah pemandangan nyata. Danisa terlalu mendalami setiap langkahnya, terjerumus, dan jatuh, tanpa tahu bagaimana mengobatinya.
Danisa tak tahu kemana ia harus mengadu, kemana ia harus membuang perasaan ini, hatinya kelu mendengar Mas Elang menjadi buah bibir semua orang. Mereka memandang kagum dan bahagia melihat Mas Elang, seperti kebahagiaan Mas Elang milik mereka. Ya, semua bahagia melihat Mas Elang berbahagia namun tidak bagi Danisa. Sebab ia tahu, kebahagiaan Mas Elang hanya akan menjadi bumerang bagi perasaannya, bagi hatinya. Mas Elang akan segera melepas masa lajang dengan seorang wanita yang telah lama mendampingi hidupnya.
Danisa termenung dan menyadari bahwa selama ini ia hanyalah perempuan disudut mata Mas Elang. Perempuan yang hanya akan dilihat jika ia menyadari ada sesuatu disekitarnya, bukanlah perempuan yang ia sudah sadari keberadaannya di depan mata. Danisa tiada pernah berani bertanya apakah ada sedikit rasa yang tersimpan dihati Mas Elang untuknya, atau semua ini murni hanya sebuah permainan baginya. Karena, semakin dalam ia mengetahuinya, maka semakin dalam pula lubang yang meradang dihatinya.
Sejak kelu menyelimuti hidup Danisa, tidak pernah lagi terdengar canda tawa diantara mereka. Tanpa ucapan tanpa tindakan, mereka sama-sama mengerti bahwa kisah ini sudah waktunya berhenti. Seperti pemulaan yang tidak pernah berucap kata mulai begitu pula pada akhirnya. Dan pada akhirnya, terselip sayup-sayup kata manis dibibir merah Danisa saat mengingat kenangan bersama Mas Elang, bahwa "Andai waktu bisa terulang kembali, mungkin sakitnya tidak akan seperti ini."