Seharusnya persoalan mengenai dasar negara sudah tidak ada diskusi lagi. Rumusan para bapa bangsa kita mengenai dasar dan filsafat bangsa sangat jenius. Mereka sudah mencermati, membaca, membentuk dasar negari ini sesuai dengan karakter dan mengakomodir semua komponen di negeri ini. Harapan mereka ialah, kita generasi penerus bangsa ini, tidak lagi susah-susah memikir kepribadiaan bangsa kita. Kita tinggal membangun bangsanya menjadi bangsa yang besar. Pekerjaan kita sebenarnya ialah mewujudkan cita-cita bangsa.
Sayangnya kejeniusan mereka dijegal dan dibajak oleh generasi kita. Hari ini, kita masih bergulat dengan identitas. Kok kita seperti bangsa yang secara psikologis "berkebutuhan khusus" sehingga terus menerus mencari jati diri? Padahal kita sudah lama merdeka. Tidak bisa dibayangkan, jika bapa bangsa kita mewarisi tugas kepada kita hari ini untuk merumuskan dasar negara kita dengan jelas, mungkin negara nusantara ini hanya dongeng negeri tua di mulut seorang kakek tua yang mau mati.
Memang represif dan konflik internal sejak Indonesia merdeka masih menyimpan "bara dalam sekam". Orde baru kuat dengan stabilitas nasionalnya dan bahkan mendikte golongan-golongan masyarakat yang berseberangan dengannya menyisakan luka dendam dan membuat jiwa bangsa ini kerdil. Sejak 1998, konflik bernuansa SARA muncul dengan intensitas dan eskalasi yang cukup tinggi.
Akibatnya, pasca reformasi, golongan-golongan khususnya golongan mayoritas tampil untuk menegaskan eksistensi dirinya. Bangsa ini terpolarisasi dalam istilah-istilah mayoritas-minoritas, barat dan timur, jawa dan non jawa, dll. Bukan konsilidasi dan rekonsiliasi yang terjadi, tetapi narsisme etnik, konflik antara golongan dan sebagainya justru terus bergelayut.
Celakanya, narsisme sekterian ini dikelola oleh aktor politik untuk mendapatkan kekuasaan. Konflik primordial, purbasangka, sentimen dialirkan ke kanal konfrontasi politik demi mendapat legitimasi kekuasaan. Pertanyaannya, apakah cara keji dan biadab seperti ini rasional dalam negara demokrasi?
Jawabannya tidak. Demokrasi adalah rasionalitas publik. Artinya, wacana yang dibangun, digagas di ruang publik seperti konstelasi politik dll. sesuai asas demokrasi, harus konstruktif, rasional dan sampai pada konsensus (kemufakatan). Sebaliknya, pembusukan demokrasi terjadi jika semakin deras dan kuatnya politik identitas, pertarungan idiologi sekterian dan plot politik yang berseberangan dengan hakekat dan filsafat bangsa kita.
Konflik-konflik sekterian ini mendapat daya dan ruang untuk eksis sampai hari ini karena ketimpangan ekonomi. Persoalan ketimpangan ekonomi ini sebenarnya oleh beberapa pemikir dan ilmuwan dikaitkan dengan lemahnya SDM, juga lemahnya integritas kepemimpinan di Indonesia. Krismon dipenghujung Orba misalnya, erat kaitannya dengan integritas pemimpin. Sekarang juga, tidak sedikit elit yang menghiasi media karena kasus korupsi bahkan lembaga yang seharusnya menjadi pengawas keuangan (BPK) anggotanya terlibat korupsi.
Artinya ialah untuk menjawab persoalan bangsa ini, bukanlah persoalan idiologi bangsa yang tidak memadai. Persoalan kita sebenarnya kepemimpinan, budaya elit politik yang masih korupsi, budaya politik yang tidak demokratis, kurang meritokrasi dan irasionalitas yaitu dengan tidak malu-malu mengusung politik purba.
Pemerintah Jokowi, berkaitan dengan integritas kepemimpinan memberikan harapan kepada kita. Namun, jika integritas ini tidak didukung oleh perubahan mental masyarakat yang mudah dikendalikan oleh politik identitas, maka sampai kapan pun jangan harap bangsa ini akan maju. Pembaharuan tidak akan terjadi jika gerbong masinis dan gerbong penumpang kereta belum tersambung. Maka tugas kita semua ialah untuk menyatukan pikiran, perasaan dan kehendak baik untuk nusa dan bangsa ini.
Politik sekterian akan membunuh bangsa ini, karena itu jangan membiarkan mereka berjaya. Hanya dengan akal kritis, kita mampu menangkal radikalisme dan hanya seperasaan dengan cita-cita bangsa kita membangun bangsa ini. Bangsa kita membutuhkan semakin banyak orang baik, tegas, berani dan didikatif. Bukan membutuhkan idiolog-idiolog karbitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H