One Piece Film Red telah mulai tayang di bioskop Indonesia tanggal 21 September kemarin. Film ini mampu menarik atensi yang sangat besar untuk seluruh pecinta One Piece atau OP Loverz Indonesia. Karena suasana berkumpul bersama para nakama dalam satu bioskop memiliki cita rasa sendiri dalam diri OP Loverz.
Film ini memiliki keterkaitan dengan sosok kharismatik yang terdapat dalam manga One Piece yaitu Akagami no Shanks (Shanks si rambut merah).
Manga karya Eiichiro Oda ini merupakan salah satu manga yang paling populer di dunia, hampir seluruh kalangan mengikuti cerita dari manga ini.
Karena cerita yang dihadirkan sangat kompleks, mulai dari petualangan, pertemanan, pertarungan dan bahkan berbagai kerjadian yang terdapat dalam One Piece sering dikaitkan dengan kejadian di dunia nyata seperti perbudakan, genosida, perpolitikan, dan rasisme.
Pada tulisan ini bukan membahas review dan alur cerita, akan tetapi berisi berbagai nilai dari perspektif penulis setelah menonton One Piece Film Red ini.
One Piece Film Red memiliki latar cerita di Kota musik Elegia ini banyak menampilkan imajinasi anak-anak dalam film musikal yang berbalut genre action dengan selipan komedi.
Imajinasi anak-anak yang di maksud adalah kekuatan musik yang dimiliki oleh tokoh Uta yang digambarkan mampu membawa orang dalam dunia mimpi saat mendengar suara nyayian yang dilakukan. Sehingga semua orang yang terpengaruh seakan memiliki mimpi yang sama dan Uta mampu untuk memanipulasi dan mengendalilkan berbagai nada musik menjadi senjata.
Kekuatan Uta penuh dengan simbol nada musik dengan warna-warna yang cerah, identik dengan imajinasi anak kecil yang liar dan luas.
Uta mampu mengubah dan menciptakan berbagai bentuk barang, orang, bahkan mengubah bentuk orang dengan kekuatan nada-nada musiknya. Rasa dan visual ini mampu membawa seakan kita kembali menuju ke imajinasi anak-anak
Dengan kekuatannya Uta mampu memindahkan semua manusia yang sudah terpengaruh karena kekuatan musiknya kedalam dunia mimpi yang dikendalikan oleh Uta.