Lihat ke Halaman Asli

Tarjum Sahmad

Sambil bekerja, menekuni dunia marketing dan jalani hoby menulis.

Revolusi dari Desa Mendobrak Filosofi Monyet

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14171562721038134837

[caption id="attachment_338410" align="aligncenter" width="644" caption="Buku Revolusi dari Desa / foto : media.kompasiana.com"][/caption]

Ketika mendengar kata “revolusi” yang terbayang di pikiran biasanya adalah aksi radikal yang diiringi tindak kekerasan bahkan pertumpahan darah untuk mengubah system pemerintahan di suatu negara. Sebagai contoh: Revolusi Perancis, yang dikomandani Napoleon Bonaparte, Revolusi Rusia yang dimotori Vladimir Lenin, Revolusi Kebudayaan di China yang dicetuskan oleh Mao Zedong, Revolusi Islam Iran yang digerakan Imam Ruhollah Khomeini dan banyak lagi gerakan revolusi di berbagai belahan dunia.

Tapi, revolusi yang terjadi di salah satu daerah di Kalimantan ini, jauh berbeda dengan gerakan revolusi di negara-negara yang saya sebut di atas. Walaupun dengan sepirit dan konsep revolusi yang mirip, revolusi yang dimotori Dr. Yansen TP., M.Si, bupati Malinau adalah revolusi damai dengan menggerakan orang-orang desa untuk mengubah pola pembangunan di desanya. Pembangunan di daerah yang biasanya dari atas ke bawah, dibalik menjadi dari bawah ke atas. Konsep dan gerakan revolusi pembangunan desa ini disusun dengan sistematis dan detail oleh Yansen dalam buku “Revolusi dari Desa”.

Gerakan revolusi biasanya berawal dari kegelisahan dan perenungan seorang tokoh revolusioner yang memiliki visi jauh ke depan melampaui pemikiran kebanyakan orang di zamannya. Kegelisahan dan perenungan itu lalu mengkristal menjadi sebuah ide atau gagasan untuk melakukan langkah-langkah perubahan yang radikal. Gagasan itu dituangkan dalam lembaran-lembaran buku dan selanjutnya dieksekusi untuk mengubah sebuah sistem.

Untuk melakukan sebuah gerakan revolusi, tentu tidak sembarang orang bisa melakukannya, karena butuh sikap yang tegas, konsep yang jelas, perencanaan yang matang dan keberanian bertindak agar gerakan revolusi tersebut tidak kandas di tengah jalan dan berakhir dengan kegagalan. Karena jika gagal, yang akan jadi korban pertama adalah rakyat. Apalagi dalam konteks revolusi di Malinau ini aktor utamanya adalah masyarakat desa.

Konsep revolusi dari desa yang di gagas dan dilaksanakan oleh Yansen, yang anak seorang guru ini merupakan sebuah terobosan berani dan inovatif untuk mengubah secara radikal pola pembangunan di daerah.

Sudah sepantasnya Yansen dengan visi, gagasan dan tindakannya mendapat apresiasi dari pemerintah pusat. Terbukti dengan perhargaan Innovatif E-GOV yang didapatkan Yansen dari kementerian dalam negeri tahun 2013.

Bukan hanya di lingkup nasional, Jika Yansen benar-benar sukses menjadikan GERDEMA sebagai model pembangaunan desa yang mampu mensyejahterakan rakyatnya, dia pantas mendapat penghargaan di tingkat internasional sekelas hadiah Nobel Ekonomi atau Nobel Perdamaian.

Ketika banyak oknum kepala daerah yang memperkaya diri, keluarga dan kroninya dengan membangun dinasti kekuasaan layaknya raja-raja kecil di daerah, Yansen dengan berani dan lugas memilih berbagi kekuasaan dengan para kepala desa. Dia tidak membangun dinasti kekuasaan yang terpusat di keluarganya, tapi membangun “dinasti” di desa-desa. Tujuannya bukan untuk memperkaya segelintir orang tapi untuk mensejahterakan seluruh masyarakat di setiap desa yang berada di bawah kepemimpinannya.

Yansen yang mengawali kariernya sebagai PNS di kantor gubernur dan staf sekretariat DPRD Provinsi Kalimantan Timur ini, menyebut gerakan revolusioner dan visionernya, “Gerakan Desa Membangun (GERDEMA)”. Prinsip utama GERDERMA adalah “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

“Prinsip dasar GERDEMA bertumpu pada kekuatan rakyat, yaitu bertumbuhnya gerakan masyarakat, yang lahir dari masyarakat desa.(hlm. 114)

Lalu apa kaitannya Revolusi dari Desa dengan filosofi monyet?

Ada satu pernyataan Yansen yang cukup menggelitik dalam buku ini, yakni dia menyebut pola pembangunan yang selama ini dijalankan di tingkat pusat dan di daerah bercermin pada “filosofi monyet”.

“Filosofi monyet adalah perilaku birokrasi yang bertindak sentralistik dan seragam dalam mengatasi berbagai masalah. Ungkapan ini dapat menjadi kritik sosial terhadap pemikiran yang tidak menghargai kearifan lokal, baik budaya ilmu pengetahuan maupun teknologi tradisional yang sesungguhnya tidak kalah baiknya. (hlm.70)

Menurut Yansen, kegagalan sistem pembangunan yang dijalankan selama ini disebabkan oleh konsep yang kurang tepat, karena selalu menempatkan masyarakat berada di pihak yang lemah. Hal ini disebabkan oleh model dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak mampu menyentuh aspek dasar. Hal tersebut juga tidak mampu mengakomodasi berbagai kekuatan yang ada di masyarakat.

“Pembangunan yang terkesan tidak berpihak kepada masyarakat menjadikan beban pemerintah semakin berat. Pemerintah harus menanggung dan menangani masalah kemiskinan terus-menerus. Sebuah proses tiada akhir, ibarat mata rantai yang tidak pernah terputus. Langkah besar yang ditempuh seringkali menimbulkan kesan sebagai langkah politis.” (hlm. 4)

Yansen menilai penerapan berbagai konsep, strategi, paradigma, atau pendekatan pembangunan itu belum membuahkan hasil yang signifikan, malah membuat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin semakin menganga.

Berbekal pengalaman di birokrasi pemerintahan selama 26 tahun dengan 3 kali diantaranya menjabat sebagai camat, lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Samarinda ini mengkaji dan merumuskan visinya untuk kemajuan Malinau yaitu: “Terwujudnya Kabupaten Malinau yang Aman, Nyaman, dan Damai Melalui Gerakan Desa Mem bangun (GERDEMA)”.

“Di samping pengalaman panjang, selama mengabdi, saya juga terus berusaha mendekatkan diri kepada rakyat. Saya yakin, hanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyatlah pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Cara pandang itulah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat Malinau memercayai saya untuk memimpin mereka sebagai bupati, mulai tahun 2011.” (hlm. 19).

Melalui GERDEMA, Yansen dan jajaran pemerintah kabupaten Malinau ingin menunjukankeberpihakan kepada masyarakat dengan harapan masyarakat akan sadar bahwa pemerintah sangat peduli kepada mereka yang pada akhirnya akan mendorong mereka untuk berperan aktif dalam pembangunan.

Yansen sangat faham keberhasilan gerakan revolusi desa ini sangat tergantung dari komitmen kepala daerahnya, kerelaan untuk berbagi kekuasaan, ketulusan dan kemauan kuat untuk menyejahterakan rakyatnya.

“….kunci dari segala kunci keberhasilan GERDEMA terletak pada kuatnya komitmen dari pemimpin puncak semua jenjang pemerintahan daerah yaitu bupati.” (hlm. 84)

Salah satu bukti keberhasilan program GERDEMA, dituturkan Tanjung Bid, Kepala Desa Mahak Baru Malinau dalam testimoninya:

“SejakpelaksanaanGERDEMA,khususnyadalamduatahunterakhir,telahbanyakmengubah perkembangan Desa Mahak Baru. Sebagai contoh, sektor pertanian di manasekarang jalan-jalan tani telah banyak terbangun serta infrastruktur desa lainnya. Selainpembangunan infrastruktur, hal lain yang menonjol adalah hubungan antar lembaga didesa yang semakin baik. Saat ini pemerintah desa, BPD dan LPM saling bekerjasama danmulai memahami tugasnya masing-masing.” (hlm. V)

Namun tentu saja, sehebat apa pun sebuah sistem atau program, termasuk GERDEMA, selalu ada titik lemahnya. Seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Yansen pun mengakui hal ini, “Program GERDEMA berdampak bagi kemajuan pembangunan perdesaan. Hanya untuk sektor pariwisata desa program GERDEMA belum memberikan dampak yang signifikan.” (hlm.176)

Dari foto-foto dokumentasi GERDEMA di halaman sisipan (hlm 1-14) tergambar jelas kedekatan Yansen dengan masyarakat desa. Derap pembangunan desa dan wajah-wajah bahagia warga desa juga tergambar di foto-foto tersebut. Keasrian dan keindahan alam Malinau yang memikat bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke sana. Sebagai orang desa yang lahir dan besar di desa, saya selalu tertarik dengan keindahan alam pedesaan. Semoga suatu saat nanti saya bisa berkunjung ke Malinau. Siapa tahu Bupati Malinau berkenan mengundang saya ke sana…hehehe.

Kekurangan buku ini, menurut saya hanya pada desain sampulnya yang kurang menggigit. Karena apa yang ditulis di buku ini adalah sebuah gerakan revolusioner dan visioner yang harus terpancar ruh dan spiritnya di sampul bukunya.

Secara keseluruhan, kebaruan dan kedalaman materi buku ini patut diacungi jempol, karena apa yang ditulis Yansen di buku ini bukan sekedar teori, tapi hasil praktik dan pembuktian di lapangan.

Buku hasil kajian doctoral Yansen, yang kemudian dipraktikkan di Malinau ini sangat layak menjadi bacaan wajib para kepala daerah (bupati dan gubernur), anggota DPR dan DPRD, jajaran birokrasi di pemerintahan pusat dan daerah, serta para elite partai politik. Dengan membaca buku ini dan melihat langsung implementasinya di Malinau, semoga mereka sadar bahwa tujuan dari pembangunan yang selama ini dijalankan harus mampu menyejahterakan rakyat sampai di pelosok-pelosok desa, termasuk di daerah-daerah terpencil dan daerah perbatasan yang sering luput dari perhatian. Pembangunan daerah bukan melulu soal angka-angka pertumbuhan, tapi yang terpenting bisa dirasakan manfaatnya langsung oleh rakyat.

Judul: Revolusi Dari Desa (Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya

kepada Rakyat)

Penulis: Dr. Yansen TP., M.Si

Editor: Dodi Mawardi

Penerbit: PT Elex Media Komputindo, Jakarta

Tahun Terbit: 2014

ISBN: 978-602-02-5099-1




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline