Sistem pendidikan di Indonesia merupakan suatu komponen yang saling terkait dan terpadu yang berfungsi sebagai pencapai tujuan dari pendidikan nasional. Salah satu substansi yang menjadi bahasan adalah mengenai pendidikan karakter. Pendidikan karakter secara normatif dinilai sebagai salah satu cara dalam membangun dan membekali peserta didik di Indonesia untuk terciptanya generasi unggul yang bermartabat dan berakhlakul karimah. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan dan pewarisan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai kebajikan yang terumuskan oleh para pendahulu bangsa yang sudah menjadi kebiasaan yang baik dan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan karakter menjadi urgensi untuk mensyaratkan agar segera dilakukannya rediscovery nilai-nilai luhur budaya bangsa atau revitalisasi atau invented tradition melalui gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen sebagai konsensus yang lahir dari kesadaran nasional itu sendiri.
Pendikan karakter menjadi sivilisasi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Karakter itu sendiri terbagi menjadi dua komponen, yaitu: karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral berasaskan mengenai moralitas seperti jujur, toleran, saling menghormati dan menghargai, bertanggung jawab. Sedangkan karakter kinerja berhubungan dengan kualitas yang melibatkan kemampuan dalam diri seseorang, seperti bekerja keras, tidak mudah putus asa, dan tidak malas.
Kedua karakter tersebut harus tercerminkan dalam pendidikan karakter yang didapat oleh siswa dalam lembaga pendidikan. Gambaran abstrak mengenai korelasi kedua komponen karakter tersebut karena ketidakinginan terciptanya peserta didik yang memiliki akhlak jujur namun pemalas, atau pekerja keras namun culas. Sehingga kedua komponen karakter tersebut hendaknya berjalan secara beriringan, artinya tidak bisa mengedepankan salah satunya.
Di Indonesia, terdapat Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo. Penerbitan ini salah satunya dijadikan sebagai jalan keluar dari masalah polemik Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut, tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pendidikan karakter cukup jelas. Seperti: untuk menciptakan generasi pelajar yang jujur, mandiri, unggul, berilmu, bekerja keras, toleran, bertanggung jawab, dan lain sebagainya, yang semuanya terekam dalam mata pelajaran pendidikan karakter itu sendiri.
Sebagai kaca pembanding dan pembelajaran, kita bisa melihat bagaimana Pendidikan karakter yang dijalankan di negara tetangga, Malaysia. Negara Malaysia menerapkan kebijakan berupa wajib belajar yang terfokus dalam pendidikan karakter yang diberikan sejak dini yaitu mulai dari jenjang TK sampai berkelanjutan.
Hal ini disebabkan, pendidikan karakter di pandang sebagai bekal utama yang harus dimiliki oleh siswa, selain pendidikan yang berupa bahasa dan komunikasi, pengembangan kognitif, emosi, dan krativitas. Pendidikan karakter dapat dijadikan acuan dalam membentuk kepribadian yang terpuji untuk menghadapi atau membentengi diri dari perubahan sosial dan struktur masyarakat yang berada pada skema meningkatnya kenakalan remaja, pergaulan bebas, kecanduan narkoba dan obat-obat terlarang, dan bentuk kriminalitas lainnya yang dapat memberikan pengaruh buruk terhadap masa depan siswa.
Bambang Sumintono dalam tulisannya Pendidikan Moral di Malaysia menyebutkan bahwa pendidikan karakter lebih baik dilakukan dengan guru sebagai pendamping dan membiarkan siswa memilih sendiri nilai-nilai moral yang menurutnya tepat. Alasannya adalah Malaysia sebagai negara multikultural, dimana masing-masing orang berhak memilih dan menentukan nilai-nilai moral menurutnya sesuai dengan budaya dan agama yang diyakininya.
Lain halnya dengan pendidikan karakter yang diterapkan oleh Pemerintah Jepang. Sebagai negara yang maju dengan kualitas pendidikan yang baik, Jepang menerapkan sekolah 5 hari per minggunya sejak tahun 2003, kebijakan ini dikenal dengan kebijakan "Yutori Kyoiku". Tetapi secara keseluruhan, pendidikan di Jepang berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 120 Tahun 2006 tentang Pendidikan. Regulasi ini yang menjadi pedoman bagi lembaga pendidikan di Jepang.
Tujuan yang tersurat dari Undandang-Undang tersebut untuk membangun pendidikan karakter yang dapat memberikan kebebas individu. Secara kolektif, Jepang menginginkan generasi yang sehat secara pemikiran dan jiwa agar mampu berkontribusi langsung dalam masyarakat untuk menciptakan kedamaian dan demokrasi.
Dari pemaparan di atas mengenai pendidikan karakter, setidaknya terdapat tiga hal yang dapat dijadikan jangkauan untuk menginterprestasikan pendidikan untuk generasi unggul di era saat ini, yaitu:
1. Karakter
Karakter menjadi fundamen dari sebuah pendidikan. Karakter yang di asah dan di asuh dengan baik, akan melahirkan jiwa yang baik, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, karakter memberikan pengaruh terhadap pemikiran dan jiwa peserta didik. Dengan adanya pendidikan yang dapat membangun karakter yang terpuji, diharapkan siswa mampu membentengi diri, memfilter, serta dapat menjadi timbal balik yang dapat memberikan kemanfaatan untuk masyarakat.