Sore itu, angin mengoyak sepi dalam peraduannya. Dalam temaram senja yang menggila membuatku lupa bahwa aku telah diperbudak waktu yang berujung petala. Aku, biduk yang terhampar di dermaga seorang pengembara yang menjarah sebagian atmaku untuk dirinya. Aku menunggu tanpa memikirkan masa di sebuah bangku dalam naungan keteduhan akasia yang membara.
Biarlah bangku ini yang berbicara ketika lisan ini tak sanggup beretorika dengan rasa. Kutapaki asa di bingkai kata yang tak fasih mengeja. Kugoreskan pena dalam belantara aksara. Meskipun dia tak dapat memahaminya dan meskipun Tuhanku tak sanggup menerka, biarlah bangku ini yang berbicara.
Langkah kaki mengoyak sepi. Dia datang bermuram diri. Atensi merasai. Milyaran diksi yang kurangkai tercerai-berai tak dapat digagas paradigma hati. Dia, gelagat abadi yang tak terjamah oleh intuisi sebagai alasanku untuk bertahan disini. Detik ini adalah saksi atas juang yang kuberi meskipun setelah itu aku tak dapat mengembalikan senyumnya saat ini. Lagi.
Dia duduk di bangku itu dengan tenang, mendengarku berceloteh dengan tatapan penuh perhatian. Tapi intuisiku mengatakan, dia ingin sebuah kata 'perpisahan'. Namun, kuikuti setiap reka adegan kehidupan walaupun menusuk tajam olehku luka yang tak tertahankan. Dan ketika Tuhan mengatakan 'Lepaskan!', aku mencoba mengikhlaskan segala kenyataan yang seringkali memahitkan.
Biarlah bangku ini yang berbicara ketika lisan ini tak sanggup beretorika dengan rasa. Kutapaki asa di bingkai kata yang tak fasih mengeja. Kugoreskan pena dalam belantara aksara. Meskipun dia tak dapat memahaminya dan meskipun Tuhanku tak sanggup menerka, biarlah bangku ini yang berbicara.
Blitar, 15 Juli 2019
Karya : Asfira Zakia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H