Lihat ke Halaman Asli

Membingkai Hati (4)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

LAPORAN hasil evaluasi Fatia terhadap anak-anak Rawamalang diperlihatkan kepadaku siang ini di taman baca. Beberapa anak membuatku terkagum-kagum dengan prestasi sekolah mereka, namun sebagian lagi membuatku kecewa.

Ridho adalah salah satu anak yang membuatku tersenyum, karena nilai-nilai ujiannya bagus meskipun ia bersekolah sambil bekerja. Tidak sia-sia usahaku membimbingnya sebelum ujian beberapa minggu lalu hingga aku pulang malam dan harus berhadapan dengan bang Rambo.

Sementara itu Mirna yang duduk di kelas tiga SMP tidak melaporkan administrasi beasiswa kepada Fatia seperti biasa selama satu bulan ini.

Seperti biasa, Fatia mengajakku mendatangi rumah anak asuhku yang bermasalah.

Kami tiba di kediaman Mirna saat gadis itu tengah duduk-duduk mengobrol bersama beberapa perempuan di teras.

“Kudengar dari Ratih bahwa kamu sudah tidak bersekolah selama dua minggu,” kata Fatia.

Mirna mengangguk dengan tak acuh.

“Kudengar juga kamu sekarang melacur, benarkah?”

Ia kembali mengangguk.

“Ada apa denganmu, Mirna? Kak Fatia dengar banyak hal tentang kamu, tapi Kakak ingin dengar dari mulut kamu sendiri. Jadi tolong ceritakan apa yang terjadi.”

“Aku tidak mau sekolah lagi, Kak,” ucap Mirna memainkan jemari tangannya dan memandangi kuku-kuku yang telah dihiasi cat kuku berwarna merah menyala.

“Memangnya mengapa?”

“Tidak ada gunanya aku sekolah, Kak. Untuk apa? Nantinya aku juga akan jadi pelacur. Hanya itu yang aku bisa.”

“Siapa yang bilang? Kamu pikir hanya itu keterampilan yang kamu punya? Kamu sudah belajar komputer, tata busana, akuntansi dan pelajaran lain yang bisa kamu praktikkan dalam bekerja.”

“Siapa yang akan terima aku kerja. Lebih baik aku bekerja di komplek saja,” jawab Mirna bersikukuh. Komplek adalah sebutan untuk komplek pelacuran atau lokasi prostitusi oleh warga.

Mirna mengatakan bahwa ia sudah tidak bersemangat bersekolah karena ia tidak punya harapan untuk hidup. Ia merasa frustasi karena ditinggal kekasihnya setelah merenggut keperawanananya. Gadis itu hamil dan dipaksa mengaborsi kandungannya.

Aku terperangah. Menatap wajah Mirna yang tampak kuyu tanpa semangat.

“Aku sudah tidak peduli pada apa pun, Kak,” ucap Mirna, “aku sudah tidak punya harga diri, aku sudah tidak perawan. Sama saja sekarang atau nanti, aku tetap akan jadi pelacur. Bibiku pelacur dan dia ingin aku menggantikannya bekerja karena sekarang dia sudah tidak begitu laku.”

“Jangan bicara seperti itu, Mir,” kataku, “kamu salah telah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Tapi bukan berarti setelah tidak perawan lagi kamu bisa menawarkan alat kelamin kamu pada laki-laki lain. Anggap saja apa yang telah kamu dan kekasih kamu lakukan adalah dosa karena cinta. Sekarang kamu perbaiki diri dan tidak melakukannya lagi. Menjual diri dan tidur dengan banyak lelaki akan membahayakan diri kamu sendiri. Kamu bisa terkena HIV AIDS atau penyakit kelamin.”

Mirna mengatakan bahwa ia tidak peduli. Ia juga ingin menunjukkan pada mantan kekasihnya bahwa ia mampu melakukan hubungan seks dengan siapa saja, bukan hanya dengan pemuda itu.

Aku dan Fatia berusaha memberikan nasihat kepada gadis itu, namun ia tetap bersikukuh ingin menjadi pelacur. Ia tidak peduli dan berniat menghancurkan dirinya sendiri, karena merasa hidupnya tak berarti lagi.

Belum lagi kami mengubah pendiriannya, ia bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam rumah. Ia mengatakan bahwa ia harus bersiap-siap pergi ke komplek pelacuran untuk mengais rezeki di sana.

***

SEBELUM Mirna sampai di rumah bordil Janet, aku sudah terlebih dahulu duduk di atas sofa lusuh di ruang tamunya. Ada beberapa perempuan sedang bersenda gurau dengan calon teman tidur mereka malam itu.

Aku mendaftarkan diri pada Loli, petugas administrasi dan keuangan untuk memakai jasa Mirna.

Saat Mirna datang, Loli menunjukku dan mengatakan bahwa aku sudah membayar untuk pelayanannya hingga pagi.

Kuajak gadis itu keluar komplek dan kubawa ke sebuah restoran. Sambil menyantap hidangan makanan laut, aku memancingnya untuk mencurahkan segala isi hatinya.

“Aku sedih sekali, Kak. Aku sayang pada Danar, tapi dia mengkhianatiku,” ucap Mirna lirih.

“Itulah mengapa kita sebagai wanita harus berhati-hati dan menjaga diri. Jangan mudah menyerahkan tubuh kita pada laki-laki dengan dalih cinta. Seks itu tidak ada hubungannya dengan cinta, Mirna. Itu hanya nafsu.”

Mirna mengatakan bahwa tidak ada yang menanamkan prinsip mengenai keperawanan padanya selama ini. Ia telah kehilangan ayah dan ibunya sejak usianya tujuh tahun dan ia hidup dengan bibinya yang juga tidak memandang keperawanan sebagai hal yang penting dijaga.

Hubungan seks sebelum menikah adalah hal yang lumrah bagi remaja maupun orang dewasa di kampung ini. Tidak ada yang mengendalikanya, baik moral maupun agama. Seks seperti makan dan minum, bernyanyi atau kebutuhan lainnya yang bisa dipenuhi setiap waktu dengan maupun tanpa membayar.

“Aku tidak sedih karena telah berhubungan badan dengannya dan harus melakukan aborsi. Aku kecewa dan marah karena dia memilih gadis lain dan mencampakkanku. Aku sangat mencintainya.”

Aku mendengarkan keluh kesah Mirna mengenai perbuatan mantan kekasihnya. Aku tak berniat lagi memberikan nasihat padanya, karena ia akan tetap bersikeras memanjakan keputusasaannya.

Tak ada yang mampu mengubah keputusan Mirna untuk menjajakan tubuhnya. Ia sangat menikmati kesenangan dalam kesedihan yang berusaha disembunyikannya berdandan tebal dan berpakaian sensual untuk menarik pelanggan laki-laki. Namun setiap kali ada lelaki yang hendak menghabiskan malam dengannya, aku sudah memesan tempat dahulu untuk ditemani Mirna.

Aku datang dengan pakaian perempuan maskulin dengan jaket, celana jeans, topi dan kacamata serba hitam. Aku mengaku bahwa aku adalah lesbian pada Loli dan perempuan lain di tempat itu. Kukatakan bahwa aku menyukai Mirna dan ingin ditemaninya setiap malam karena gadis itu mirip dengan mantan kekasihku.

“Mengapa Kakak memesan aku terus? Aku bosan,” protes Mirna setelah selama dua minggu aku berpura-pura menjadi pelanggannya, “aku ingin menemani laki-laki dan melakukan seks dengan mereka seperti pelacur lain. Ini sama saja aku tidak jadi pelacur. Untuk apa aku bekerja di komplek?”

“Aku hanya ingin melindungimu, Mirna. Kamu tetap akan dapat uang, tapi kamu tidak perlu melacur,” kataku.

“Aku lakukan ini bukan karena uang, Kak.”

“Untuk apa pun itu. Yang jelas aku tidak ingin melihat kamu menjual tubuhmu pada lelaki hidung belang.”

Mirna mendesah. “Mengapa Kakak lakukan ini? Mengapa tidak biarkan saja aku melacur? Kakak buang-buang uang saja.”

“Kalau kamu peduli pada pengorbananku ini, maka berhentilah. Jadi aku tidak perlu beri uang pada tante Janet hanya untuk membawamu jalan-jalan.”

“Aku tidak mau berhenti. Nanti Kakak akan memaksaku kembali ke sekolah. Teman-temanku sudah tahu bahwa aku hamil dan aborsi, mereka akan meledekku.”

Kukatakan bahwa aku tidak akan memaksanya ke sekolah jika ia tidak mau, asalkan ia bersedia berhenti bekerja menjual dirinya.

Mirna tetap menggeleng. Tekadnya sudah bulat, berhenti sekolah dan mulai merintis pekerjaan meneruskan bibinya. Ia memagari dunianya sendiri, bahwa mata pencaharian yang tepat untuknya hanya sebagai pelacur, bahwa tempat inilah tujuan hidupnya kini atau nanti.

Semakin lama aku merasa lelah dengan petualanganku menjadi lesbian. Mirna pun tidak merasa sebagai orang yang kuselamatkan, ia bahkan sering mengeluh karena setiap hari harus pergi bersamaku mengasingkan diri dari tempat itu. Waktuku terkuras hanya untuk menemani Mirna, sehingga aku merasa kelelahan esok paginya untuk beraktivitas.

Tebersit dalam pikiranku untuk mencari seseorang yang dapat menggantikan pekerjaanku. Aku akan membayar orang itu untuk berpura-pura menjadi pelanggan dan membawa Mirna setiap malamke apartemenku atau ke mana pun, asalkan keluar dari tempat itu.

Jika Galih dan Yeni pernah mengatakan, tepatnya menyindirku bahwa aku selalu menggunakan uang untuk membeli idealismeku, maka aku tetap akan lakukan itu selagi uang masih dapat bicara untuk kebaikan. Namun bila uang saja tak mampu menyuap orang untuk mengarah pada kebaikan, maka aku akan bertanya-tanya apa yang terjadi pada dunia, apakah kebaikan sudah tak ada nilanya atau memang tak terbeli.

***

MASIH pukul tujuh Sabtu malam saat aku sudah mengungsikan Mirna dari tempatnya menjajakan wangi dan mulus tubuhnya. Seperti biasa ia tampak murung seperti telah dilarikan dari petualangan penghancuran diri yang ia ingin jajaki dengan rasa ragu dan takut.

Sekitar tiga kilometer meninggalkan kampung Rawamalang, ia terlonjak dari duduknya dan menepuk bahuku memintaku menghentikan laju mobilku.

“Damar, Kak. Damar!” serunya sambil menunjuk ke arah belakang.

Saat mobil berhenti ia membuka pintu dan turun menghampiri seseorang lelaki yang tengah memarkirkan sepeda motornya. Di sampingnya berdiri seorang gadis berambut panjang. Kami berhenti di area pasar malam. Aku tak mengerti bagaimana Mirna mampu mengenali sosok mantan kekasihnya di tengah keramaian seperti ini.

Aku turun dari mobil, ingin menyaksikan apa yang hendak Mirna lakukan pada keduanya.

“Damar! Ke mana saja kamu? Kamu tinggalkan aku dan menghilang. Tega sekali kamu padaku,” ucap Mirna berteriak di antara riuhnya pasar malam dan ramainya deru kendaraan.

Damar tidak mengacuhkan Mirna dan ia seperti ingin cepat menghilang dari tempatnya berdiri. Mirna mendekati Damar dan mendorong dada lelaki itu dengan tangannya.

“Apa-apaan sih kamu?” ucap Damar gusar sambil menepis tangan Mirna.

Mirna berang. “Ini siapa? Korban kamu yang baru?” Ia menyentuh bahu perempuan yang ditemuinya bersama Damar dengan tangannya.

Perempuan itu menatap dengan tanda tanya ke arah Damar. Lelaki itu mengangkat bahu.

Mirna berteriak-teriak menumpahkan kekesalannya, namun Damar dan perempuan yang bersamanya mengabaikannya dan memilih pergi. Ia berusaha mengejar mereka, namun kutahan dengan seruanku.

“Cukup, Mirna! Jangan rendahkan lagi diri kamu lebih dari itu!”

Kuraih lengannya dan kuajak ia kembali ke mobil di mana ia menangis sambil berteriak-teriak mengeluarkan segala rasa yang menekannya selama ini.

Kubiarkan ia larut dalam tangis dan mulai menasihatinya setelah ia tenang. “Dia tidak berhak mendapatkan cintamu, Mirna. Bahkan dia pura-pura tidak mengenalmu. Atau memang kamu salah orang.”

“Dia pura-pura tidak kenal aku, Kak. Mengapa dia tega lakukan ini padaku?”

“Hal itu sering terjadi. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, lelaki mencampakkan perempuan dan berpura-pura tidak mengenalnya saat dipergoki bersama perempuan lain.”

Mirna kembali menangis. Aku tak mengerti dengan versi cinta yang dialami oleh remaja ini. Mungkin karena aku tidak pernah mengalaminya saat aku seusianya.

Saat aku menginjak usia remaja aku hanya merasakan kedekatanku dengan Ariyo dengan perasaan yang terkontrol dan terkelola dengan rapi, sebagai sahabat atau adik dan kakak, karena kami saling mengisi pada masa itu dan seperti tak memerlukan orang lain untuk berbagi rasa. Meskipun pada usia dewasa aku mulai bertanya ke mana hubungan kami bertepi. Nyatanya kami memang tak dapat menawarkan hal lain selain persahabatan sejati.

“Damar tidak layak mendapatkan keputusasaanmu, Mirna. Bangkitlah mulai sekarang dan tunjukkan padanya bahwa kamu lebih tegar dari yang dibayangkannya,” kataku lagi.

Ia terkulai lemas di kursi mobil dan menikmati kekecewaannya sendirian.

***

AKU menghubungi Yeni dan mengajak perempuan itu bertemu di Taman Ismail Marzuki pada Jum’at malam sambil menikmati pentas Kenduri Cinta.

“Kamu berbeda sekali sekarang,” ucapku mencandainya.Pasti gajimu besar di NGO itu.”

Yeni tertawa. Ia menanyakan bagaimana kabarku dan taman baca yang perjuangannya masih kulanjutkan.

Aku menceritakan apa yang terjadi setelah kepergiannya. Berbagai ekspresi ditunjukkan yang mengatakan bahwa ia merasa lega bahwa ia tak berada di Rawamalang lagi.

“Sekarang aku butuh satu orang laki-laki yang bisa dipercaya untuk menggantikan tugasku menjaga Mirna,” kataku.

“Kamu masih saja melakukan hal seperti itu. Jika aku jadi kamu, tidak akan pernah tebersit dalam pikiranku untuk menolong mereka satu persatu seperti yang kamu lakukan. Itu akan sangat melelahkan dan memforsir perhatian, waktu dan tenaga kamu,”balas Yeni.

Aku menganggukkan kepalaku. Aku telah menyadari perbedaan caraku dengan caranya. Bagiku, bila suatu masalah melintas di hadapanku dan aku masih dapat berbuat untuk menyelesaikannya, maka aku lakukan segala cara, asalkan halal dan tak melanggar norma apa pun.

Aku tahu ia akan berujar bahwa aku punya banyak uang untuk mendapatkan apa yang kuinginkan.

“Adakah orang yang bisa kubayar untuk itu?” tanyaku.Tugasnya hanya berpura-pura menjadi pelanggan dan membawa Mirna pergi dari tempat itu.”

Yeni mendesah keras, namun ia menghargai usahaku dan memberikan sebuah nama.

“Ada seorang laki-laki yang memang berniat melakukan penelitian sosial di lingkungan prostitusi. Sebentar, Tiara. Kuhubungi dia sekarang.”

Yeni menekan tombol handphonennya dan melakukan panggilan. Kudengarkan ia bicara dengan orang yang dimaksudkannya. Setelah pembicaraan selesai ia mengatakan bahwa lelaki itu bersedia datang secepatnya menemuiku karena tawaranku bertepatan dengan waktu penelitiannya.

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline