Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Aceh adalah provinsi bekas konflik yang kini berstatus khusus, dimana sebelumnya provinsi ini pernah berstatus, sebagai daerah istimewa. Silih berganti nama dengan kata berkonotasi sama ini juga suatu indikator bahwa tidak ada lagi status yang lebih tinggi dibanding kata khusus dan istimewa. Namun sesungguhnya nama dan status tidak berarti apapun ketika fungsinya tidak berjalan sebagaimana namanya tersebut.
Sebagai provinsi khusus, apakah uang pembangunan dari pemerintah pusat juga khusus (di istimewakan) untuk provinsi ini, misalnya jumlahnya yang lebih besar dari provinsi lain. Tentu saja begitu yang dipahamai oleh rakyat Indonesia di provinsi-provinsi lain. Sehingga image orang Aceh kaya juga pernah teropinikan diprovinsi tersebut hampir sepanjang masa sebagaimana masa lalu ketika Aceh bergelimang image Dollar sebagai penghasil condensat, minyak dan gas di wilayah nusantara.
Lalu, apakah hal ini benar? Ya uangnya benar, tetapi penerima uangnya tetap saja orang lain, namun beberapa orang warga Aceh yang tidak tahu diri yang berjabatan besar diperusahaan eksplorasi milik asing tersebut adalah sebagai tumbal untuk menghisap habis isi kandungan alam di Aceh. Berikutnya para pemimpin di Aceh kala itu yang bermental inlander (terjajah) sebagaimana sebahagian besar rakyat juga tidak berbeda karena negara apolitis yang sebahagian besar hanya hidup bagaimana untuk memperoleh pekerjaan untuk memperoleh pendapatan yang standar untuk bertahan hidup. Sementara yang bekerja di perusahaan tersebut miskin kreatifitas sosial apalagi pengabdiannya hampir sama sekali tidak terlihat.
Lantas kenapa rakyat Aceh terus miskin padahal pernah semua mata warga Indonesia tertuju kesana dan melihat uang dan fasilitas di wilayah tersebut dimasa lalu. Padahal siapapun yang pernah mengambil manfaat di Aceh, sudah seharusnya memberi perhatian terhadap kondisi sosial masyarakat daerah itu.
Kemudian kenapa semua faktor yang kita harapkan tidak pernah ada, mungkin saja karena terjadi konflik beberapa tahun terakhir yang menyebabkan Aceh menjadi asing dimata investor lokal dan juga dimata asing. Yang kita sayangkan setelah konflik dan penyerahan trust kekuasaan kepada pihak yang bertikai kondisi keamanan sudah normal namun kondisi kesejahteraan justru merosot drastis. Sementara para pemimpin korup dan masyarakat mengikuti kecenderungan prilaku pemimpinnya dalam pemilihan rakyat atau mengambil keputusan juga korup.
---------------------------------
Pemimpin sebagaimana penulis sebutkan "pantengong" dalam ilmu kepemimpinan sosial karena masih memimpin menggunakan alat-alat feodalisme, primordialisme, dalam ekonominya masih terbenam dalam kapitalisme primordializem mengatur dengan kekuatan uang, bahasa awam kepemimpinan toke tradisional, mereka mencari uang pribadi dan kelompok politik juga menguras uang daerah dengan menguasai sumber-sumber ekonomi daerah, beli tanah, rumah, dan buka warung kopi dan usaha yang bisa dikerjakan oleh rakyatnya bahkan usahanya berkompetisi dengan usaha rakyat biasa. Mereka tidak belajar untuk mencari pendapatan dengan cara-cara yang lebih modern dan morderat. Jika hal ini terus terpelihara maka selamanya Aceh masuk dalam peringkat daerah miskin di Indonesia.
---------------------------------
Timbul tanda tanya besar, sebagai pemimpin dan masyarakat religius, bukankah lebih efektif bagi masyarakat Aceh dalam penanggulangan korupsi? Hal ini yang justru menjadi tanda tanya besar dalam sistem kehidupan rakyat dan pemimpin pemerintahan di Aceh. Ternyata kondisi sosial yang agamis tidak menjamin prilaku pemimpin dan masyarakatnya untuk patuh dan menjadi penghambat prilaku buruk dalam kepemimpinan daerah.
Bahkan ada kesimpulan bahwa kredibilitas agama tergantung bahkan sangat bergantung pada bagaimana sistem yang kita bangun ditengah masyarakat, jika berangkat dari sistem yang feodalizem bukan dengan kesadaran maka sudah pasti agama juga rapuh dalam keyakinannya karena sebahagian besar masyarakat beragama hanya karena budaya turun temurun bukan pada esensi komunikasi atau apalagi mencari tuhan sebagaimana sejarah-sejarah pemuka agama dilahirkan.
Kondisi sosial yang centang perenang dalam kehidupan masyarakat Aceh, tentunya menimbulkan beberapa hipotesa sosial yang bertentangan dengan logikanya, misalnya sebagai berikut :
Pertama, ketaatan beragama yang seharusnya mampu menekan rakyat untuk tidak berprilaku negatif justru terbalik.