Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Partai Politik Lokal Hilang Rakyat Indonesia Mundur dalam Politik Bernegara, Rakyat Aceh Lebih Terjajah

Diperbarui: 5 Juni 2021   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Adalah sesuatu yang istimewa bagi Republik Indonesia dalam penanganan masalah Aceh dengan berbagai peristiwa yang dilalui dalam sejarah politik kebangsaannya. Meskipun diwarnai dengan sejarah hitam bangsa ini dengan genosida yang tidak dapat dipungkiri terjadi ditanah Aceh yang masyarakatnya dominan beragama Islam.

Meskipun pahit getir yang dialami rakyat Aceh dalam kehidupan bersama bangsa Indonesia yang pada akhirnya hingga saat ini tanah Aceh masih tetap utuh dalam status hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bagi negara ini keberadaan provinsi Aceh adalah menjadi begitu vital untuk bangsa Indonesia belajar dan mengevaluasi agar dapat menjadi negara yang pemerintahannya dapat meningkatkan pengetahuan demokrasi. Meskipun bangsa ini secara umum dan Aceh khususnya harus membayar mahal dengan berguguran rakyatnya dalam perang konflik bersenjata. Namun bangsa Indonesia akan lebih terpuruk bila semua peristiwa dan tragedi yang pernah menimpa rakyat Aceh tidak mampu dijadikan alat evaluasi pembangunan bangsa yang sangat mahal harganya.

Secara realita pada akhirnya Aceh adalah sebagai sample dan menjadi alat penguji bangsa dalam kehidupan kebangsaannya. Apalagi dengan kehadiran partai lokal yang pertama dalam sejarah selama Indonesia merdeka. Tidak hanya berhenti disitu, Aceh juga menjadi alat penguji lambang negara yaitu burung garuda dan falsafah bangsa bhineka tunggal ika.

Jika kita kembali kepada hakikat dasar lahirnya suatu negara maka tujuan utamanya adalah untuk membangun suatu organisasi yang bertujuan untuk mempermudah hidup dan menggapai kesejahteraan rakyat. Oleh karena itulah maka rakyat adalah elemen utama dalam negara dan semua elemen lain dalam bernegara justru diperuntukkan bagi mengiptimalkan kepentingan rakyat semata. Demikian pula halnya keberadaan pemerintah yang sesungguhnya tidak lain selain untuk mengelola dan mengurus kepentingan rakyat, maka pemerintahan dalam demokrasi yang dikenal berasal dari rakyat untuk rakyat, justru pemerintah itu adalah pelayan rakyat bukan tuan rakyat.

Karena tujuan negara untuk membangun rakyat maka jika suatu rakyat dalam wilayah tertentu bisa menunjukkan bahwa mereka lebih sejahtera hidupnya jika dalam negara tertentu yang tidak pernah berubah maka wajarlah jika ada daerah yang sebahagian besar rakyatnya menuntut merdeka apalagi mereka merasa dengan keberadaannya dalam suatu negara justru lebih banyak menghambat mereka maju. Karena itulah pemerintah dalam suatu negara yang rakyatnya yang melakukan pemberontakan sudah seharusnya berbuat lebih baik dalam pelayanan rakyatnya sehingga tujuan bernegara bagi rakyat yang ekstrim dapat diminimalisir.

Lalu, apakah masyarakat Aceh dengan pelayanan pemerintahan yang semakin minim sebagaimana tuntutannya dapat menggugat pemerintah Indonesia dan menuntut merdeka? Kenapa tidak. Karena pemerintah juga tidak konsisten dalam mengelola rakyat Indonesia sebagaimana konstitusi negara. Apakah mereka cukup alasan untuk menuntut pemisahan diri? Jika komitmen dan konsistensi pemerintah dalam bernegara tidak dapat dirawat maka kebijakan dan sikap rakyat tersebut sah-sah saja demi kehidupannya yang lebih baik, mengingat tujuan utama negara adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Tetapi tentu saja berbeda apabila pemerintah berlaku otoriter sebagaimana masa lalu, ketika masyarakat Aceh menuntut merdeka maka kebijakan pemerintah justru memberi hadiah dengan status Daerah Operasi Militer (DOM).

Tetapi lihat bagaimana status Timor Leste ketika pemerintah dipimpin presiden BJ. Habibie yang demokratis dengan mengutamakan kehidupan masyarakat dan memberi hak kepada rakyatnya untuk memilih melalui Referendum. Hal ini juga sejalan dengan bunyi pembukaan UUD 1945 bahwa penjajahan diatas bumi harus dihaouskan. Oleh karena itukah maka rakyat perlu memahami dan melek politik agar mengenal penjajahan apalagi penjajahan dijaman ini yang dilakukan dengan kebijakan pemerintah dan tidak menggunakan senjata secara phisik.

Dengan pemikiran demikian dalam demokrasi maka sudah seharusnya masyarakat Aceh harus memihak kepada politik yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat secara utuh dalam konsepsi pembangunan Indonesia termasuk dalam opsi memilih pemimpin yakni presiden dan gubernur di daerahnya agar demokrasi mendapat tempat utama dalam visi pembangunan daerah dan bangsa sehingga rakyat dapat terdidik secara baik dan hidup dalam alam demokrasi dan kebebasan berpendapat dalam bernegara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline