Mungkin saja sebahagian menganggap ide pembagian uang ini sebagai ide gila dalam suatu pembangunan masyarakat. Tetapi ada juga sebahagian lagi menganggap ini salah satu ide yang brilian dalam membangun masyarakat daerah khusus sebagaimana Aceh.
Kalau kita memantau dan merasakan hidup sebagai warga masyarakat Aceh maka kita akan menemukan suatu masalah yang kontroversial ditengah status dan kondisi hidup warga masyarakatnya.
Mengapa demikian? Karena dengan status daerah khusus Aceh mendapat tambahan anggaran yang besar dibanding provinsi lain di Indonesia, hal ini mungkin hanya berlaku bagi provinsi lain yang terbatas seperti Papua dan Papua Barat. Namun diprovinsi lain tersebut dana negara untuk rakyat itu terang-terangan dibagi kepada rakyat ketika rakyat menghadapi krisis. Sebenarnya ada esensi lain yang ingin dicapai dengan kebijakan itu yakni pemimpin dan rakyatnya bersatu meskipun banyak yang menilainya bodoh.
Uniknya Aceh tidak pernah kita temukan sekalipun ada pemimpinnya yang berlaku demikian, ironisnya daerah bergelar terbalik dimana kaya dengan kompetensinya justru menjadi provinsi termiskin di Sumatera padahal uang yang diperoleh dari pemerintah pusat berjumlah lebih banyak dengan statusnya yang khusus. Penggunaan uang daerah di Aceh sepenuhnya bisa dikatagorikan mutlak secara politis karena uang daerah juga dipergunakan oleh pimpinan dan wakil rakyatnya yang dinamakan uang aspirasi.
Anehnya lagi pemimpin Aceh tidak pernah membagi uangnya kepada rakyat dimana seharusnya antara pemimpin dan rakyatnya dalam satu bahasa dan rasa yang sama. Tapi yang kita lihat bahkan para pimpinan Aceh memperlihatkan kesombongan intelektual dalam membangun daerah, realitanya pembangunan justru tidak bermanfaat untuk mengangkat ekonomi rakyatnya. Justru kesenjangan yang lebar antara masyarakat yang berjabatabatan dipemerintahan dengan masyarakat biasa dapat kita saksikan sebagai model kehidupan sosial di Aceh. Yang menurut teori manajemen sosial daerah seperti ini sebagai daerah tergolong statis dalam perspektif pembangunannya atau boleh disebut tertinggal.
Ilustrasi pembangunan infrastruktur tidak lebih sekedar kantor pemerintahan, kantor partai politik, fasilitas untuk bekerja aparatur pemerintahan dan pembangunan tempat ibadah yang bermewahan, selebihnya mobil-mobil pejabat yang mewah dan semua fasilitas nomor wahid para petingginya. Sementara bangunan yang mengisyaratkan perkembangan swasta dan masyarakat biasa tidak terilustrakan disana, maksudnya apa? Pemerintah daerah hanya bekerja untuk menghabiskan uang negara atas nama kepentingan rakyat daerah dan mereka menggunakannya sebagaimana distribusi bantuan atau uang yang dihabiskan untuk konsumsi biasa yang tidak membawa misi pembangunan sosial sebagaimana arah perencanaan dan pembangunan sosial di daerah dan negara yang rakyatnya sudah maju.
Karena orientasi pembangunan yang salah kaprah dan bukan pembangunan yang mendasar bagi rakyat maka Aceh terpuruk miskin dengan uang yang banyak, dengan kata lain para pemimpin Aceh eksekutif dan legislatif bisa disebut bodoh turun temurun dalam kepemimpinan atau terlalu pintar dalam mensiasati rakyatnya. Maka image pemimpin di Aceh yang kental itu adalah berkhianat dimata rakyatnya, maka belum satupun pasangan kepemimpinan daerah bertahan hingga dua periode yang menunjukkan kualitas baik dan diterima secara baik dalam melaksanakan pemerintahannya.
Sepintas lalu image ini sangat mengganggu kita sebagai warga karena seharusnya Aceh justru menjadi provinsi yang hebat dalam kepemimpinan dan daerah yang kaya dengan status daerahnya yang khusus sejak dulu, meskipun terminologynya berganti secara simbolik, dintaranya adalah sebagai berikut :
(Daerah Istimewa) Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam
(Daerah Khusus) Aceh
Pada intinya semua status simbolik diatas tersebut tidak berbeda, bahkan lebih indah justru nama Daerah Istimewa Aceh, karena kata istimewanya lho...
Lalu, keistimewaan atau kekhususan-kekhususan Aceh itu berkisar pada orientasi penyelenggaraan syariat Islam, dimana sesungguhnya dari masa awal penggabungan Aceh menjadi bahagian dari provinsi dalam negara Indonesia juga diperbolehkan meletakkan dasar-dasar pembangunan masyarakatnya dengan budayanya sendiri (local wisdem).