Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Penulis, Pemimpin, Politisi, dan Lima Sebab Demokrasi Mati

Diperbarui: 2 Mei 2021   11:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Pexels

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Menjadi seorang penulis yang merupakan salah satu profesi dalam kehidupan masyarakat di negara kita dimana indeks membacanya sudah optimal. Biasanya negara dengan tingkat membaca rakyatnya sudah baik pasti negara tersebut sudah jauh lebih maju. Demikian pula daerah yang indeks membaca masyarakatnya kurang pastilah daerah tersebut lebih tertinggal daripada daerah yang indeks membacanya lebih tinggi.

Di negara dengan kualitas politiknya berkatagori baik sudah pasti para politisinya berkemampuan menawarkan ide, gagasan dan konsep pembangunan melalui tulisannya. Masyarakat memahami kualitas personal pemimpin dan politisi justru melalui tulisannya berupa artikel-artikel dan buku yang bersumber dari pemikirannya. Tetapi bukan penulis berita peristiwa yang lebih cenderung sebagaimana profesi wartawan.

Penulis juga butuh sikap yang idealis, ia tidak akan menulis dan mengarahkan masyarakat untuk berpikir ke arah yang salah. Tentu penulis yang baik tidak akan terjebak dalam perspektif politik sempit, apalagi sebatas politik pragmatis yang karya tulisnya dapat di order oleh para politisi kelas demagog.

Penulis tidak membutuhkan harus dikenal, karena mereka mengutamakan tulisannya menjadi bacaan publik dan mengutamakan pemikirannya menjadi pemikiran normatif pada sebahagian warga masyarakat. Oleh karena itu seorang penulis tidak boleh didikte oleh misi dukungan politiknya sebagaimana dukungan kepada kontestan politik.

Memang pada dasarnya penulis lebih mudah mempengaruhi dukungan pemilih melalui tulisannya. Maka politisi di negara maju menggunakan ilmu tersebut menjadi bahagian dari ilmu politik karena ia bisa mengajak semua orang untuk berpikir sebagaimana konsepsinya terhadap sesuatu obyek.

Lalu, bagaimana dengan penulis di kalangan politisi kita?
Wah,,,,kalau ini menjadi syarat pada politisi kita, maka sedikit dari politisi kita yang lulus seleksi dalam persyaratan normatifnya. Karena apa?

Karena politisi di negeri kita masih jauh dari harapan tersebut, mengapa?

Jawabnya karena rakyat masih terbatas dalam membaca, berpolitik masih didominasi kalangan preman yang mengandalkan power politik, sehingga membaca menjadi sesuatu yang berpengaruh dalam politik. Oleh karena prilaku dan daya pikirnya yang masih kasar maka outputnyapun adalah power, pressure politik dan arogansi kekuasaan yang jauh dari pemikiran dan rasionalitas.

Lantas, apa yang kita saksikan dalam kompetisi politik kita selama ini?

Tidak lebih dari adu fasilitas, adu uang, adu alim, adu faktor lahir, adu kebangsawanan, adu orang tua, adu pangkat dan jabatan pendukung, adu keturunan. Jika kurang yakin berpikir dan bayangkanlah apa yang menjadi materi jualan dalam politik kita. Saya yakin semua alat yang dijual dalam politik kita masih dalam lingkup mentalitas korup, konspiratif dan harapan korup pemilih serta belum memenuhi persyaratan normal dalam politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline