Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Pengisian Wagub Aceh, Tokoh Partai Politik Lakukan Pressure Seperti Anak Ingusan Minta Balon

Diperbarui: 23 Februari 2021   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Dalam beberapa hari ini masyarakat Aceh disuguhkan pemaksaan opini kelompok politik seakan wakil gubernur Aceh yang kosong itu milik partai PNA atau haknnya mantan gubernur yang diberhentikan karena ditangkap KPK.

Sentimen politik ini bisa saja dipersepsikan secara awam bahwa kursi wagub itu milik partai PNA  karena hal itu menjadi kompensasi politik akibat ketuanya dipecat sebagai gubernur.

Dalam aspek legal standing pengisian kursi wagub ini sesungguhnya lebih berpulang kepada partai Demokrat yang merupakan partai terbesar diantara beberapa partai pengusung tersebut ditambah sebagai gubernur. Apalagi gubernur sekarang dijabat langsung oleh ketua partai Demokrat Aceh yang memiliki modal paling besar dalam partai pengusung.

Kemudian PDIP juga dapat membuka jalan bagi kepentingan komunikasi politik dan pembangunan dengan pemerintah pusat. Kesepakatan antara dua partai politik ini bisa dan dapat berjalan di depan secara bijak untuk mempercepat prosesi kelancaran penempatan wagub dan target pembangunan Aceh kedepan tanpa menafikan partai lainnya.

Adapun partai pengusung yang sah saat ini masing-masing sebagai berikut :
 1.  Demokrat dengan 10 kursi
 2.  PDA dengan 1 kursi
 3.  PKB dengan 1 kursi
 4.  PDIP tanpa kursi
 5.  PNA dengan 3 kursi
 
Sementara PNA perlu diperjelas status keabsahannya terkait ketua Umumnya dan hak politiknya untuk pengajuan calon wagub dan kewajiban dalam aturan rumah (ART) tangganya atau petunjuk organisasinya (PO) terhadap kewenangan penandatanganan hal tersebut. Kemudian juga status kongres serta legalitas partai paska peristiwa dimaksud.

Perihal kekuasaan mengajukan calon wakil gubernur sebenarnya pilihan pertama dari sejumlah pilihan itu adalah memberi kewenangan kepada gubernur untuk menentukan calon wakil gubernur yang memenuhi kriteria bagi kelancaran kerja baginya dan bagi masyarakat. Karena apa?
Tentu karena wakil gubernur itu adalah (alter egonya gubernur) atau orang kepercayaan utama gubernur.

Jadi bukan menghadapkan seseorang sebagai penghambat kepemimpinan gubernur. Jika ada interpretasi oleh gubernur bahwa kehadiran wakil gubernur yang dipaksakan akan menjadi insoliditas atau terbelahnya sistem  pengendalian kekuasaan di Aceh, tentu gubernur dan DPRA akan mencari solusi untuk menghambat munculnya calon yang bakal menambah masalah dalam pemerintah Aceh.

Kemudian wakil gubernur bukan tandingan untuk menghambat kinerja gubernur yang sekarang dan diposisikan sebagai lawan politik kelompok pendukung gubernur yang telah dipecat. Jika ini menjadi orientasi mereka maka sudah dapat diduga apa yang terjadi dalam pemerintahan Aceh dimasa depan. Jawabannya tentu Aceh semakin kacau dan tidak kondusif.

Hipotesa ini sangat beralasan karena secara terbuka kelompok politik di Aceh yang masih mendukung gubernur yang telah dipecat membuat perlawanan dan pembelaan dengan presure power politiknya. Karena itulah maka pengajuan calon pengganti wakil kepala daerah itu diwajibkan dua orang sebagaimana aturan yang pernah ada sehingga dapat memunculkan dua nama yang dapat dipilih oleh DPRA dan dapat mempersempit ruang untuk sogok dan pressure politik.

Sentimen politik yang berkembang seakan calon wakil gubernur ada ditangan mantan gubernur yang telah dipecat, padahal tetap saja menjadi sentimen dalam dinamika politik awam. Hal ini jauh dari tujuan politik yang sesungguhnya. Karena pejabat yang bermasalah tetap harus di hukum secara normatif dan hak politiknya dapat saja dicabut tergantung tuntutannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline