Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Orang Pintar Mengkritik, Orang Bodoh Menghujat, Orang Pintar Adu Otak, Orang Bodoh Adu Otot dan Senjata

Diperbarui: 16 Februari 2021   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pexels

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Kalau ada presiden yang belajar politik sejak muda atau dikaderkan sebagai pemimpin bangsa, mentalitasnya pastilah negarawan. Tidak perlu mempertanyakan kesetiaan, kejujuran, kemandirian, amanah dan sifat serta sikap normatif yang sesungghnya dimiliki semua orang  yakni sebatas berstandar baik.

Jika kahabisan pikiran, seseorang yang jujur akan ingkar, seseorang yang setia akan tidak setia, seseorang yang amanah akan khianat dan sikap normatif lain tentu akan berkontra pada seseorang.

Selama ini dilingkungan kita selalu saja mengaitkan kejujuran sebagai faktor utama dalam menentukan kriteria pemimpin. Namun disisi lain pada masyarakat yang sudah lebih maju justru mereka ingin memahami dan mendengarkan visi dan misi pemimpin, misalnya visi dan misi calon presiden, visi dan misi calon gubernur atau bupati.

Karena visi dan misi itu akan menjadi pegangan utama masyarakat dalam melakukan evaluasi terhadap kredibilitas seorang pemimpin rakyat. Pada masyarakat yang sudah mencapai level tersebut, hal-hal normatif seperti jujur yang sangat relatif dalam politik tidak dapat menjadi pegangan pada seseorang. Karena jujur dapat diartikulasi sebagaimana masalah yang mereka hadapi dan kecerdasan mereka menghadapinya dengan srategy politik.

Apakah kita sebagai pemimpin boleh tidak jujur? Tentu saja bukan begitu, tapi jujurlah adalah kewajiban yang tidak perlu dipermasalahkan namun karena hal itu relatif maka sulit menjadi pegangan dan dalam ilmu politik hal yang relatif tersebut dapat dimasukkan sebagai sentimen politik yang setiap saat bisa dipersoalkan dan bisa dimaklumi ketika mereka mampu menjelaskannya secara baik.

Lalu, anda tentunya akan menemukan seseorang pengkritik yang justru sebatas menyoalkan kejujuran kepala pemerintahan atau pemimpin rakyat yang dipilih. Menurut penulis bahasan yang dapat diibaratkan seperti karet yang elastis dalam politik justru hanya menghabiskan energi dan waktu kepada setiap orang yang memperdebatkannya. Maka indikator kejujuran itu adalah dengan pembuktian terhadap konsep, program yang dijalankan secara konsisten, itulah jujur yang sesungguhnya dalam politik.

Sentimen politik seumpama kritik yang mengarah pada kredibilitas seseorang pemimpin atau pelaku janji kepada rakyat perlu di geser ke suatu janji yang bisa diukur secara realistik meski tidak bisa dibawa ke ukuran sebagaimana ilmu matematika.

Pengkritik setidaknya bisa membuktikan dengan fakta yang rasional jika tidak mampu membuktikan penyelewengan itu secara data atau angka-angka. Jika tidak demikian maka kritik itu lebih dapat digolongkan sebagai sentimen dan dapat menjadi fitnah dalam kehidupan masyarakat. Maka pengkritik itu tidak semudah yang kita pikirkan, mereka membutuhkan wawasan dan pengetahuan yang cukup untuk melakukannya.

Karena itulah maka pengkritik pada masyarakat yang lebih maju dihargai lebih sebagai pelaku pembangunan yang nyata.

Kritik itu hanya ada pada masyarakat yang sudah melek politik, sementara pada masyarakat tertinggal lebih banyak umpat dan hujat. Karena pada masyarakat yang pintar pembangunannya dengan adu otak sebaliknya pada masyarakat tertinggal sudah pasti adu otot atau adu senjata. Itu perbedaan yang pasti pada masyarakat baik daerah maupun negara yang maju dan tertinggal perbedaannya signifikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline