Rakyat Indonesia Lemah Karena Disorientasi Politik
Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Kita mendapatkan berbagai kasus dalam politik Indonesia sebagai dampak pemilihan langsung oleh masyarakat. Mekanisme pemilihan langsung pada dasarnya adalah suatu mekanisme pengambilan keputusan dalam demokrasi yang esensinya adalah memilih pemimpin yang berkualitas dan berkapasitas sebagaimana harapan rakyat yang bisa membuat perubahan dalam hidup rakyat.
Dengan begitu maka demokrasi dalam konteks pemilihan pimpinan rakyat adalah memilih pemimpin daerah yang benar dan yang terbaik sesuai dengan kompetensi sumber daya manusia di suatu daerah.
Oleh karenanya demokrasi juga butuh pemahaman arah, pendidikan mulai pimpinan hingga warga masyarakat. Demokrasi tidak bisa dibiarkan tumbuh secara alamiah, karena dapat menyebabkan disorientasi yang berdampak pada kelemahan masyarakat secara total.
Kita sering menemukan ada daerah yang dipimpin oleh mantan buruh, mantan kontraktor, mantan satpam, mantan penyeludup, mantan pemabuk, mantan anggota genk dan lain-lain yang profesi latar belakangnya jauh dengan bidang tugas dan jabatan yang dipikul, apalagi sebagai pemimpin rakyat yang berfungsi memimpin dan mendidik warga masyarakat banyak.
Semua ini terjadi karena disorientasi dalam melihat seorang pemimpin dalam kacamata rakyat, misalnya dalam suatu pilkada, partai politik melakukan seleksi calon kepala daerah yang berorientasi pada uang atau mahar, maka mustahil calon pemimpin yang ideal lahir dalam rekruitment pemimpin daerah, kenapa?
Karena seseorang yang memiliki sumber daya yang cukup kapasitas, memiliki ilmu kepemimpinan akan menilai mulai proses rekruitmen yang obyektif.
Lagi pula mereka yang paham tidak akan ikut-ikutan untuk maju sebagai kepala daerah bila sistemnya tidak terarah dalam orientasi yang benar. Sehingga yang berpeluang muncul sebagai kepala daerah hanya mereka yang memiliki empat faktor yang sesungguhnya bukan faktor utama dalam esensi seleksi pemimpin, sebagai berikut :
Pertama, Faktor kelompok politik besar (power politik).
Dimana orientasinya juga tidak terarah, karena ada yang menjadi kelompok politik besar akibat emosional masyarakat, ada yang besar karena sentimen budaya, agama, dan lainnya yang kecil pengaruhnya dalam sisi kualitas kepemimpinan rakyat.
Terkadang seorang pemimpin bisa saja muncul karena faktor menilai kebaikan dengan teman-teman, dengan lingkungan, dengan dermawan, dengan faktor alim, dengan penciteraan, dengan keunikannya, dengan jasa dan berbagai sentimen dan emosional yang sesungguhnya dalam seleksi pemimpin hanya sebagai pelengkap bukan faktor utamanya dia layak sebagai pemimpin.