Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Suatu hari penulis didatangi salah seorang sahabat yang politisi, kemudian ia berbicara tentang orang-orang berprilaku curang dan melanggar etika, serta tidak shalat. Saya menganggap semua yang dibicarakan adalah lebih kepada sentimen politik yang menurut saya berbanding terbalik dengan apa yang ingin dicapai dalam pembicaraan tersebut dan juga targetnya dalam berpolitik.
Memang orang curang dalam politik sering unggul, karena kecurangan itu akibat ketidaksengajaannya, bahkan sering prilaku tersebut karena keluguannya dalam politik. tetapi semua disebabkan akibat lemahnya pemahaman tentang wawasan politik normatif yang memenuhi etika dan fatsun politik.
Mungkin di kota besar dengan tingkat pendidikan masyarakat lebih baik dan wawasan politiknya sudah baik kita tidak menemukan pekerjaan-pekerjaan politik yang justru kontroversi dengan nilai politik itu sendiri.
Tetapi di daerah-daerah tidak jarang kita temukan caleg melakukan kampanye dengan menggunakan traktor atau peralatan berat untuk membuat jalan dan hal itu menjadi ukuran suatu pekerjaan politik para politisi yang lain. Akibat pekerjaan-pekerjaan yang tidak substantif dalam politik akhirnya caleg meninggalkan hutang karena kampanyenya yang berlebihan dalam urusan yang bukan pada tempatnya.
Pekerjaan politik di daerah masih amburadul jika kita melihat mereka berkampanye yang orientasi mengarah pada bagaimana mendapatkan fasilitas dari jabatan yang ingin dia rebut itu, seakan semua orang akan mendapat bagian dalam jabatannya.
Setelah memperoleh jabatan sebagai anggota parlemen, caleg superman itupun sudah sulit ditemui konstituennya. Padahal ia mulai mengumpulkan kembali uang kampanyenya dan memperoleh laba sepuluh kali lipat dari modal kampanyenya. Itulah model mentalitas pedagang dimana anggota parlemenpun dapat dia gunakan sebagai dagangannya, dan sebahagian besar mentalitas legislator di negeri kita.
Maka lebel kursi DPRK berharga satu, sampai tiga Milyar Rupiah dalam kampanye pemilu biasa kita temui dan anehnya dianggap lazim dalam politik representasi rakyat. Demikian DPR Prov. Rp 3-5 Milyar, DPR RI Rp. 10-20 Milyar Rupiah.
Dengan kesalahpahaman dalam memahami politik maka kampanye politikpun salah kaprah sehingga masyarakat tidak terbiasa dalam politik normatif, adu gagasan bagaimana kontrol sosial, bagaimana menjalan fungsi legislasi atau tidak terbiasa dalam politik yang benar sehingga rakyat mendapat pendidikan politik bernegara.
Dampaknya adalah pendidikan politik masyarakat terbengkalai dan tidak bisa dibenahi secara sungguh-sungguh sebagaimana harapan dalam politik itu sendiri.
Justru caleg sebahagian besar membangun mengajak dan mengajarkan rakyat untuk sebatas konspirasi yang menyebabkan mentalitas korup pada seluruh rakyat Indonesia, ini semua akibat lemahnya ilmu politik para politisi yang berkampanye ditengah rakyat, dan tentunya rakyat itu sendiri mendatangi tempat kampanye dengan harapan membawa pulang sembako atau oleh-oleh dalam bentuk kebutuhan dari kampanye dimaksud.