Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Ingin Perubahan Hidup Rakyat? Perlu Standar Seleksi Calon Pimpinan Daerah dan Wakil Rakyat

Diperbarui: 17 Januari 2021   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Sejak tahun 1999, rakyat Indonesia  mulai mengenal politik dalam berwarga negara secara menyeluruh. Terutama pengenalan dan pemahaman hak-hak politiknya.

Dimasa sebelumnya orde lama dan orde baru, politik rakyat Indonesia masih dalam transisi antara perang senjata dan pemeliharaan teritorial meski Indonesia sudah merdeka, hingga akhir orde baru rakyat Indonesia masih sebatas mengenal pembangunan ekonomi atau tatacara hidup sebagai bangsa baru merdeka.

Mentalitas bangsa ini masih pada tataran pembentukan kebangsaan, maka masalah-masalah sosial yang negatif, kriminalitas, teror, ancaman, agitasi bahkan pemberontakan masih mewarnai kehidupan rakyat yang perlu di kontrol dengan formulasi sistem keamanan yang ketat.

Maka hak-hak politik dimasa itu masih terbatas atau belum sepenuhnya menjadi hak warga negara secara utuh untuk tujuan kedaulatan rakyat.

Sejak masuk dalam pintu gerbang demokrasi hingga saat ini yang telah berusia lebih kurang 30 tahun dunia politik Indonesia masih dalam tahapan pertumbuhan dan saat ini masih terjerumus dalam sistem politik yang terbawa ke dalam industri, dimana politik masih sebagai alat menghasilkan uang dan fasilitas negara. Paling tinggi kualitasnya hanya sebatas konsolidasi kekuasaan politik pragmatis di tingkat pimpinan pusat.

Lalu, bagi masyarakat Indonesia di dserah, politik masih sebatas celah untuk alur memperoleh pendapatan, atau mengarah pada sikap dalam usaha meningkatkan status sosial untuk kemapanan hidup kelompok masyarakat. Oleh karena itu sistem politik di daerah masih terjebak dalam ranah kemampuan merebut pengelolaan uang negara.

Kenapa hal ini bisa terjadi? 

Pertama, masyarakat daerah terbangun dalam masyarakat non produktif baik dalam konsepsi pemerintah maupun swasta, masyarakat daerah tidak terbangun dalam mental dan jiwa interpreneur sebagaimana masyarakat di negara-negara produsen yang cenderung berpikir dalam konsep discovery dan inovasi untuk menghasilkan alat pemuas kebutuhan yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari.

Kedua, dunia politik di daerah masih terjerumus dalam konsepsi lapangan pekerjaan, dimana menjadi anggota partai sebagai masuk dalam sistem, pemilu dan pilkada sebagai ajang peluang dan pembukaan lapangan kerja, kampanye untuk mencari uang, menjadi anggota parlemen sama dengan mendapat kontrak kerja lima tahunan pada negara dan giliran membuka pintu gudang mengembalikan modal dan memperoleh hasil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline