Politik itu tidak ubahnya ibarat aliran air sungai yang tenang, keputusan-keputusan politik yang baik itu ibarat menarik rambut dalam tepung. Pekerjaan politik lebih mengarah kepada pekerjaan seni dalam membuat perintah dan keputusan dalam kepemimpinan dan mempengaruhi politik.
Oleh karena itu keputusan politik yang dianggap kontroversi kemudian dipandang memiliki kandungan nilai, akhirnya semua yang paham tentang politik akan menyetujui dan menerimanya meski mereka merasa tidak puas dalam kehendak aspirasinya.
Sementara pergerakan politik itu, ibarat bah yang bergemuruh dan rumus serta rahasia didalamnya diketahui oleh publik karena tujuannya berada dihadapan mata atau suatu yang dianggap masalah yang dihadapi oleh sebahagian besar rakyat.
Partai politik, mendidik kadernya untuk mahir melakukan pekerjaan-pekerjaan politik, sementara ormas atau organisasi swadaya masyarakat melakukan pekerjaan pergerakan rakyat yang bisa mencapai pada pekerjaan yang mempengaruhi dan bahkan merubah politik kekuasaan ketika pergerakan itu menjadi berkepentingan bagi sebahagian besar rakyat. Tapi pekerjaan yang mempengaruhi politik menguras sumber daya yang boros dalam segala sisi.
Pergerakan rakyat akan lebih mudah dan efektif, apabila mengeksploitasi alat-alat pemersatu rakyat seperti budaya, primordialisme, bahkan mengeksploitasi agama justru sangat efektif untuk memudahkan membangun sentimen rakyat, maka dalam kepemimpinan sangat perlu memahami nilai budaya rakyat yang sensitif sehingga siapapun sebagai pemimpin tidak melakukan hal yang kontra yang berdampak membuka lubang-lubang yang memancing emosional rakyat yang mengundang pergerakan massa atau people power.
Jika pergerakan massa itu landasannya lemah, maka tokoh politik yang berkontra, atau pemimpin akan dengan mudah merubah arah pergerakan tersebut, misalnya menghadapkan mereka dengan kekuatan politik lain dan berbagai cara yang pernah kita saksikan dalam pergerakan yang mendesak dan menyudutkan pemimpin negara sebagaimana terjadi di negara-negara timur tengah.
Politik pemberontakan negara untuk pembebasan daerah berawal dari kelemahan dalam pengelolaan kekuasaan negara dan daerah. Kemudian muncul para tokoh dalam masyarakat yang membawa issu kecewa dengan sistem politik dan pemerintahan di wilayahnya. Tentu semua berawal dari ide dan gagasan yang rasional yang dapat diterima oleh akal sebahagian besar warga masyarakat.
Ide dasarnya juga perlu datangnya dari seseorang yang dianggap berkapasitas dan berkualitas baik mental, moral, dipercaya, kecerdasannya dan faktor lain yang pemikirannya diikuti oleh banyak pengikut secara kualitatif.
Pemberontakan daerah akhirnya banyak yang mengalami hambatan dan kegagalan akibat pengelolaannya yang lemah dan hanya mengandalkan sebatas sentimen dalam politiknya.
Pada beberapa kasus tuntutan pembebasan wilayah, masyarakatnya terkooptasi dengan hegemony kekuasaan penggerak politik yang menjadi kecenderungan wilayah. Lalu diantara masyarakat mulai berkiprah dan melakukan aktivitas yang mengarah pada harapan masyarakat dalam kecenderungan tersebut meskipun dalam kualitas politik aktivitasnya justru bertentangan dengan politik pembebasan wilayah tersebut. Namun semua tujuan-tujuan dalam aktivitas itu hanya berlandaskan semangat emosional dan berdampak pada bangunan kepahlawanan dalam kacamata awam.
Justru karena itu, di daerah-daerah bekas konflik akan timbul kasus-kasus yang heroik dengan mengandalkan senjata sebagaimana pada masa perang oleh mereka anggota kelompok yang pernah terlibat dalam perang dimasa lalu. Padahal kasus-kasus itu tidak berguna untuk mengangkat kembali dinamika perang masa lalu karena status kondisi sosial keamanan yang sudah berbeda. Akhirnya para pejuang yang mengharapkan pujaan dan gelar heroikpun banyak yang tewas atau dihukum oleh negara dalam status kriminalitas.