Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Hidup Dalam Rimba Bernama Negara

Diperbarui: 19 Desember 2020   14:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Photo : pexels

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Rakyat hidup dalam negara, merasakan bermacam dinamika, tergantung peran dan fungsi kepemimpinan negara bersangkutan. Keberadaan negara pada hakikatnya merupakan perangkat aturan hukum yang mengikat seluruh warga negaranya. Pada jaman teknology saat ini dengan sistem komunikasi yang tidak terbatas, sesungguhnya negara dapat dibentuk meskipun tanpa wilayah sebagaimana negara yang kita jalani selama ini.

Namun sebahagian besar yang dibentuk itu hanya dalam batasan organisasi global yang mengikat anggotanya dalam visi dan misi serta kesepakatan perjuangan otganisasi dimaksud dalam berbagai bidang. Maka jangan heran ketika suatu organisasi global jauh lebih dipentingkan oleh seseorang daripada negara yang hanya menjadi wilayah tempat mereka menetap.

Karena negara hanya sebatas, untuk legalisasi tempat tinggal beserta kewajiban pajak atas kepemilikan barang-barang pribadi dan fasilitas publik milik negara yang dipergunakan untuk kepentingan sehari-hari. Bahkan negara tidak sedikit menghambat kepentingan-kepentingan rakyatnya dalam urusan terhadap pajak kemudian membatasi hak-hak warga untuk mendapat pelayanan global. 

Misalnya, pembatasan penggunaan internet yang membatasi situs masyarakat mencari pendapatan pada perusahaan-perusahaan global, seperti perdagangan, investasi dan lainnya. Karena perusahaan global itu tidak membayar pajak maka di suatu negara maka situsnya ditutup untuk masyarakat. Seharusnya hal yang beginian, diperlukan formulasi pemerintah untuk mencari solusi, bukan sebatas kepentingan besaran uang pemasukan ke kas negara tetapi perlu diprioritaskan adalah pelayanan yang baik bagi warga negaranya.

Kalau orientasinya sebatas pajak, sudah pasti terjadi kinspirasi antara perusahaan global tersebut dengan pejabat atau stakeholder yang bertanggung jawab atas nama negara. Endingnya akan melahirkan keseimbangan yang saling menguntungkan pribadi pejabat dan perusahaan itu. Tetapi beban yang tinggi dari konspirasi tersebut sudah pasti membebani rakyat. Maka jika anda trader melakukan trading dengan perusahaan yang secara resmi mengurus izin di suatu negara ketiga, pasti akan menimbulkan biaya yang lebih tinggi.

Lalu, pertanyaannya, untuk apa negara? Jika negara hanya bisa mengambil pajak pada warga masyarakatnya. Negara tidak bisa memberi kemudahan tetapi justru hanya engeksploitasi dan memeras rakyatnya sendiri. Ini salah satu model yang membatasi hak warga negara untuk berinteraksi dengan dunia global dan profesional.

Demikian juga perbankan di negara kita, secara terbuka kita melihat bank itu justru hanya menjadi alat atau wadah  mengumpulkan uang pada masyarakat yang selanjutnya oleh pemiliknya digunakan untuk berdagang pada sektor lain misalnya membangun industri besar, sehingga sektor-sektor usaha yang berkompetensi bagi rakyat biasa yang mengumpulkan uangnya di bank sudah pasti terabaikan.

Lalu, siapa yang salah, jawabnya tentu saja pemimpin negara, jika bank itu ada di daerah dengan perlakuan demikian maka  yang dapat dipersalahkan Gubernur yang tidak memahami fungsinya untuk memberdayakan rakyat dalam kehidupan ekonominya, bahkan boleh dikatakan mereka tidak memimpin tetapi hanya melakukan tugas sebagaimana pegawai pada kantor-kantor pemerintah atau kantor swasta.

Berikutnya, nilai uang yang kita rasakan dalam kehidupan kita yang semakin terasa nilainya rendah. Jumlah uang yang harga nominalnya begitu besar, sementara nilainya begitu lemah karena inflasi yang meningkat setiap tahun. Masyarakat memegang uang 1 juta pada tahun lalu nilainya jauh lebih lemah bila dibanding tahun ini. Misalnya pada tahun lalu warga masyarakat memiliki uang sebesar itu bisa mengisi tangki gas 12 kilogram 10 kali karena harganya Rp. 100.000,- sementara ditahun ini hanya 5-6 kali karena harganya sudah mencapai 2 kali lipat. 

Masalahnya, energi dan pikiran warga untuk mendapatkan uang 1 juta tetap saja sama seperti tahun lalu, karena harga tenaga dan pikiran masyarakat tidak pernah meningkat harganya. Residunya adalah kerugian masyarakat atau ekonomi sosial itu rugi 100 persen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline