Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Bagaimana Orang Bodoh dan Orang Pintar Dipersatukan di Negeri Kita?

Diperbarui: 15 November 2020   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sebelum membaca maka penulis sarankan agar tulisan ini harus dibaca hingga selesai agar tidak menimbulkan kesalahpamahan persepsi dan kesimpulan para pembaca yang sangat kami hormati.

Banyak didirikan organisasi- organisasi dinegeri kita mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak, dalih-dalih pendirian organisasi itu demi bangsa, demi rakyat, demi kemaslahatan, demi segala demi yang berkumpul disana. Padahal tidak lebih demi panggung atau alat bargaining dalam kekuasaan semata. Idealnya jika seorang tokoh itu benar-benar pemimpin masyarakat dan kemampuan otaknya cukup untuk melihat salah dan berbahaya bagi masa depan generasi bangsa dalam pengelolaan negara ini, maka idealnya sudah pasti ia mendirikan partai politik.

Tetapi mereka yang ragu-ragu sementara pekerjaaannya justru melakukan aktifitas politik, itu tidak berbeda dengan memperkeruh susasana sosial, sehingga masyarakat lain terganggu aktifitasnya dalam berpikir dan berorientasi dengan produktifitasnya masing-masing. 

Jika mereka tegas dan siap berhadapan secara konstitusional dalam berkompetisi maka masyarakat yang berpolitik dan berpikir sebagaimana dirinya juga begitu banyak di negara ini disetiap provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa. Tetapi karena mentalitas lemah sehingga banyak pertimbangan yang tidak mendasar untuk melakukan suatu sikap politiknya.

Bentuk komunikasi semi politik seperti ini biasanya berbasis massa, menggerakkan orang dengan cara-cara tidak rasional dengan mata tertuju ke persanggrahan. Tetapi massa menghabiskan energinya untuk sesuatu yang setelah kita nilai secara kualifikasi perbaikan kehidupan anak bangsa justru tidak memberi manfaat yang lebih.

Apalagi menghadapkannya dengan problema sosial kekinian yang dihadapi bersama oleh masyarakat nusantara. Justru hanya menambah persoalan baru yang kompleks. Hal ini tidak berbeda dengan prilaku masyarakat dalam mengidolakan bintang rock, yang dikenal dengan syair-syair tegas dan keras dipanggung. Kemudian masyarakat memuja dan mengidolakannya melebihi ekspektasi kenormalan. Hal ini sebenarnya merupakan pola kehidupan tradisional yang sudah ketinggalan jaman. Hal ini juga masih berlaku di negara kita dalam tataran kebijakan tinggi negara ini.

Sebenarnya jaman ini dengan perkembangan pengetahuan rakyat secara global, dunia politik sudah berubah. Dunia politik sudah pada tahapan mengedepankan pemikiran rasional untuk kemudahan dan perbaikan hidup. Yang diutamakan adalah pemikiran bukan lagi sebatas kehadiran dan kerumunan massa sebagaimana massa lalu yang secara kualitas demokrasi lemah dan melupakan essensinya. Justru karena tampilan-tampilan politik seperti inilah yang telah menyudutkan demokrasi dalam politik dan bernegara kemudian sistem yang anti itu mulai dikampanyekan yang sesungguhnya justru melemahkan hak politik warga negara.

Logika berpikirnya kira-kira begini, jika ada orang sekelas Mark Luckerberg di Indonesia, tidak perlu lama untuk menjadi presiden, minimal menteri komunikasi atau menteri sosial. Tetapi di Amerika geliat dalam politikpun tidak terlihat. Karena cara pikir masyarakat mereka berbeda dalam kualifikasi demokrasinya. Profesi bagi mereka yang sudah berpikir maju adalah bagaimana seseorang yang berorientasi secara ideal dan merupakan pilihan hidupnya dibidang tersebut sehingga ia mencapai kesuksesan dan bersikap akan mengembangkan aktivitasnya secara global, sehingga dunia mengenang seorang tokoh dalam bidangnya dan hal itu akan menjadi referensi bagi generasi manusia yang hidup dimasa depan. Jika ada seseorang tokoh yang berorientasi dalam hal gading gajah maka seluruh dunia harus belajar kepadanya tentang gading gajah dan bukan tentang kaki, tahi dan belalai gajah.

Dengan cara berpikir demikian maka konsepsi pembangunan rakyat produktif tidak akan terdegradasi akibat kebuntuan berpikir sehingga menjadi kehausan masyarakat tentang seseorang yang dipercaya untuk pemimpin yang adil. Sebenarnya kondisi kehidupan kita dalam berpikir mengalami kebuntuan yang sulit diobati. Lalu jika penulis berpikir begini maka bisa saja pemikiran penulis dianggap salah kaprah bahkan dianggap setengah gila. Padahal yang setengah gila itu sebahagian besar masyarakat yang berpikir dengan cara-cara lama dalam kehidupan politik dan sosial.

Sistem Pendidikan Yang Terjajah

Secara ringkas penulis menganggap sistem pendidikan kita juga dikuasai oleh pihak lain terutama dalam ilmu-ilmu sosial yang para pembelajarnya dibelenggu dengan kebebasan berpikir dan berpendapat. Sebahagian besar study itu hanya mengkaji pemikiran dan pendapat sejumlah tokoh dibidang itu dimasa lalu dan menjadi referensi dalam membuat berbagai tesis di perguruan tinggi. Padahal seorang pembelajar cukup mengetahui rumus dan logika yang bisa diterima oleh sebahagian besar masyarakat yang dibuktikan oleh penguji di perguruan tinggi. Karena ilmu itu dilahirkan oleh cara berpikir manusia yang melebihi cara pikir manusia lain dan dapat dibuktikan secara realistik dengan mekanismenya. Dengan cara itu bangsa kita akan melahirkan ilmuan dan tokoh-tokoh dunia dibidangnya yang dapat menjadi referensi berpikir bangsa lain. Jika kita tidak bermisi seperti itu maka bangsa ini selalu dalam penundukan oleh bangsa lain karena semua bidang study kita harus mengingat nabi-nabi dalam bidang itu dan bahkan sampai pada kehidupannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline