Lihat ke Halaman Asli

Tarmidinsyah Abubakar

Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Demokrasi Bukan Soal Pemilihan Langsung tapi Lebih pada Soal Eksistensi dan Harga Diri Rakyat

Diperbarui: 15 Juli 2020   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Oleh: Tarmidinsyah Abubakar

Kita sering mendengar ucapan kata demokrasi terutama di ketika menjelang kampanye politik, seperti pemilihan presiden, demo mahasiswa, petinggi negara juga mengucapkan namun sedikit di lima tahun belakangan ini.

Lalu mengapa kata demokrasi paling banyak kita bahas dan dengar kala ada perjuangan politik, gerakan perjuangan keadilan oleh pemuda dan mahasiswa, kemudian kala menuntut perbaikan nasib karyawan, nasib buruh, nasib masyarakat daerah dan tentu nasib kaum tertindas.

Ini seharusnya perlu menjadi pertanyaan dan sekaligus catatan penting untuk rakyat belajar demokrasi yang sesungguhnya.

Saya sengaja memunculkan beberapa hipotesa negatif tentang pemahaman demokrasi. Hipotesa pertama bahwa pemahaman demokrasi yang sangat dangkal terutama pada pelaku politik kita di Indonesia terlebih lagi di daerah yang sengaja dibiarkan lemah dalam memahami demokrasi agar rakyat daerah tidak banyak menuntut haknya.

Lalu kalau ada pernyataan bahwa penerapan demokrasi sudah berlaku baik di Indonesia maka sepantasnya kita bisa menjawab bahwa Indonesia hanya membuat bungkus demokrasi, ibarat penamaan suatu partai politik nama partainya yakni partai demokrasi sementara dalam pelaksanaan justru sistem kerja kartel.

Hipotesa kedua, bahwa demokrasi telah digagalkan penerapannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia terutama pelakunya adalah pimpinan partai politik di Indonesia dan pimpinan partai di daerah yang bermental kacung tidak memahami hak dan harga diri masyarakat daerah sehingga ia lebih mengutamakan menjilat ke pimpinan pusat daripada menempatkan posisi politik dan harga diri masyarakat daerahnya.

Lalu yang apa yang berlaku dalam realita kelemahan dan ketidampahaman sikap pimpinan partai? Tidak lain partai yang seharusnya milik rakyat telah berubah fungsi menjadi perusahaan untuk sebatas industri penghasil pendapatan anak cucu pimpinan partai itu sendiri. Demikian juga di daerah pimpinan partai hanya menjadi berbaju dan bermahkota pimpinan sementara peran dan fungsinya justru memalukan bahkan tidak ubahnya seperti pengemis jabatan atau seperti murninya penjilat yang lahap.

Hipotesa ketiga, apabila di level pimpinan partai politik demikian lemahnya pemahaman demokrasi maka penerapan dalam partai politik tentu bisa dibayangkan, kalau di daerah maka DPR Provinsi dan Kabupaten Kota itu mentalnya ibarat tikus melihat wajah kucing dicermin kala berhadapan dengan pimpinan pusatnya, mengapa?

Tentu karena pimpinan pusat itu menjadikan diri mereka seperti raja yang banyak uang, banyak harta sehingga menjadi sakti padahal ilmu dalam memimpin dan pemahaman demokrasi yang diamanahkan dalam konstitusi negara adalah zero alias nihil.

Hipitesa keempat, bahwa jika demikian lemahnya demokrasi pada level pimpinan partai dan dalam partai politik artinya selama ini rakyat tidak berdemokrasi secara benar? jawabnya demikianlah realita yang sesungguhnya. Karena instrumen utama rakyat dalam politik adalah partainya maka partai politik itu adalah ilustrasi rakyat. Jika ingin melihat rakyat dalam suatu negara maka pelajari partai politiknya maka setengah dari profil rakyat secara keseluruhan dapat diketahui.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline