Lihat ke Halaman Asli

Tara Aulia

mahasiswa

Hubungan Defisit Kalori dengan Diabetes Mellitus

Diperbarui: 7 Juni 2024   09:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Obesitas telah menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat paling mendesak di dunia. Lebih dari 650 juta orang dewasa di seluruh dunia menderita obesitas, dengan prevalensi yang meningkat pesat selama 50 tahun terakhir. Obesitas tidak hanya mempengaruhi kualitas hidup individu tetapi juga terkait dengan berbagai penyakit serius seperti diabetes mellitus tipe 2 (T2DM), penyakit kardiovaskular (termasuk infark miokard dan stroke), osteoartritis, apnea tidur obstruktif, depresi, serta beberapa jenis kanker (seperti kanker payudara, ovarium, prostat, hati, ginjal, dan usus besar). Kondisi ini menjadikan obesitas sebagai salah satu tantangan utama dalam bidang kesehatan global (Kim, 2021).

Diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) merupakan salah satu komplikasi utama yang terkait dengan obesitas. Individu dengan obesitas memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengembangkan T2DM dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan normal. Obesitas menyebabkan resistensi insulin, dimana tubuh menjadi kurang sensitif terhadap insulin, sehingga memerlukan lebih banyak insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Akibatnya, pankreas harus bekerja lebih keras untuk memproduksi insulin, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kegagalan fungsi pankreas dan perkembangan T2DM. Oleh karena itu, manajemen berat badan melalui penciptaan defisit kalori merupakan strategi kunci untuk mencegah dan mengelola T2DM pada individu dengan obesitas (Ghusn et al, 2022).

Manajemen berat badan melalui penciptaan defisit kalori telah menjadi topik perdebatan yang intens di antara para peneliti, ahli gizi, profesional kesehatan, dan masyarakat umum. Defisit kalori terjadi ketika jumlah kalori yang dikonsumsi lebih sedikit daripada yang dibutuhkan oleh tubuh untuk fungsi harian, sehingga tubuh mulai membakar cadangan lemak untuk energi. Berbagai pendekatan untuk mencapai defisit kalori telah diusulkan dan dianalisis untuk menentukan metode yang paling efektif. Meta-analisis beberapa program diet menunjukkan bahwa pembatasan kalori adalah faktor utama dalam penurunan berat badan, diikuti oleh komposisi makronutrien. Selain faktor biologis dan psikologis, lingkungan obesogenik juga berperan dalam peningkatan prevalensi obesitas. Lingkungan obesogenik mencakup berbagai determinan sosial, budaya, dan sistem pasokan makanan yang sulit diubah. Faktor-faktor seperti ketersediaan makanan tinggi kalori dan rendah nutrisi, gaya hidup yang kurang aktif, serta pengaruh media dan periklanan, semuanya berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi obesitas (Kim, 2021).

Faktor-faktor yang mempengaruhi managemen defisit kalori yaitu seperti jumlah makanan yang dikonsumsi, jenis makanan (komposisi makronutrien), dan waktu makan adalah komponen kunci untuk menciptakan defisit kalori. Artikel ini bertujuan untuk mengulas beberapa pendekatan berbasis bukti untuk mencapai defisit kalori yang efektif dan manajemen penurunan berat badan, termasuk perbandingan antara pembatasan kalori moderat dan pembatasan kalori ekstrem (Kim, 2021).

Pembatasan kalori moderat melibatkan konsumsi 1.000--1.500 kalori per hari dan telah digunakan secara luas untuk penurunan berat badan, dengan defisit kalori sebesar 500--750 kalori per hari. Studi menunjukkan bahwa baik diet rendah lemak maupun rendah karbohidrat tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam penurunan berat badan jika defisit kalori yang sama dipertahankan. Namun, adaptasi metabolik tubuh sering kali menyebabkan plateau dalam penurunan berat badan, yang bisa disalahartikan sebagai kegagalan oleh individu yang menjalani defisit kalori moderat (Kim, 2021).

Defisit kalori adalah keadaan di mana asupan kalori yang masuk ke tubuh lebih sedikit daripada kebutuhan kalori yang diperlukan untuk menjaga berat badan yang sehat atau mendukung aktivitas fisik. Dalam konteks diabetes melitus tipe 2, manajemen defisit kalori menjadi sangat penting karena obesitas merupakan faktor risiko utama untuk kondisi ini. Obesitas diketahui memperburuk resistensi insulin, suatu kondisi di mana sel-sel tubuh menjadi kurang responsif terhadap insulin, hormon yang mengatur metabolisme glukosa. Ketika tubuh mengalami defisit kalori yang ekstrem, seperti pada diet sangat rendah kalori atau puasa yang ekstrem, respon tubuh terhadap situasi ini dapat memperburuk resistensi insulin. Sebagai upaya untuk mempertahankan cadangan energi, tubuh cenderung meningkatkan resistensi insulin, yang pada gilirannya mengarah pada peningkatan kadar glukosa darah. Kondisi ini, jika terjadi secara terus-menerus, dapat memberikan dampak negatif yang signifikan pada pengelolaan diabetes melitus tipe 2. Peningkatan kadar glukosa darah yang tidak terkendali dapat meningkatkan risiko komplikasi serius seperti penyakit jantung, gangguan saraf, kerusakan ginjal, dan gangguan penglihatan (Rahman, 2020).

Berdasarkan literatur, mengidentifikasi dan mengevaluasi pendekatan diet surplus kalori untuk remaja dengan status gizi underweight, menemukan bahwa prevalensi underweight pada remaja di Indonesia masih tinggi akibat faktor ekonomi, akses makanan bergizi, dan pola makan yang buruk. Preferensi makanan remaja yang cenderung tinggi kalori tetapi rendah nutrisi dapat dimanfaatkan dengan memilih makanan tinggi kalori dan nutrisi, seperti daging tanpa lemak, kacang-kacangan, produk susu penuh lemak, dan biji-bijian utuh. Surplus kalori sebesar 500-1000 kalori per hari terbukti efektif untuk meningkatkan berat badan, dengan strategi pemberian makanan dalam porsi kecil tetapi sering, penambahan camilan sehat, dan penggunaan suplemen kalori jika diperlukan. Pendekatan holistik yang melibatkan dukungan keluarga dan edukasi gizi berkelanjutan sangat penting untuk keberhasilan program diet (Utomo & Renyoet, 2022).

Hubungan yang signifikan antara diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan kelebihan berat badan atau obesitas dalam pengaturan glikemik. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kontrol glikemik pada pasien DMT2 cenderung memburuk ketika berat badan mereka bertambah, sementara cenderung membaik ketika berat badan mereka turun. Studi yang mengevaluasi data dari pasien diabetes di AS mengungkapkan bahwa pasien dengan BMI di atas 25 kg/m2 memiliki tingkat HbA1c tertinggi, menyoroti prevalensi obesitas di antara pasien diabetes. Temuan ini menunjukkan pentingnya pencegahan obesitas dan penurunan berat badan sebagai strategi untuk mengurangi beban diabetes pada sistem perawatan kesehatan. Mekanisme yang mungkin terlibat dalam hubungan antara kontrol glikemik yang buruk dan peningkatan indeks massa tubuh meliputi peran adipositokina seperti resistin dan leptin dalam mempengaruhi sensitivitas insulin. Adipositas juga dapat menyebabkan resistensi sel terhadap insulin, yang berkontribusi pada peningkatan kadar gula darah. Studi ini menegaskan pentingnya penurunan berat badan dan pencegahan obesitas dalam manajemen diabetes, dengan menunjukkan bahwa keberhasilan dalam mencapai kontrol glikemik yang optimal seringkali terkait dengan penurunan berat badan dan pengelolaan obesitas (Putri dkk. 2022).

Hubungan antara defisit kalori dan diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) merupakan bagian integral dalam manajemen obesitas dan pengendalian glikemik. Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk pengembangan T2DM, dengan resistensi insulin menjadi salah satu mekanisme kunci yang terlibat dalam proses ini. Oleh karena itu, manajemen berat badan melalui penciptaan defisit kalori menjadi strategi utama dalam pencegahan dan pengelolaan T2DM pada individu dengan obesitas. Pendekatan diet yang menghasilkan defisit kalori, baik melalui pembatasan kalori moderat maupun ekstrem, telah menjadi fokus perhatian dalam upaya menurunkan berat badan dan memperbaiki kontrol glikemik pada pasien obesitas dengan T2DM, meskipun demikian, pentingnya pendekatan holistik yang melibatkan edukasi gizi, dukungan keluarga, dan perubahan gaya hidup juga tidak bisa diabaikan. Selain itu, penurunan berat badan dan pencegahan obesitas juga merupakan strategi yang efektif dalam mengurangi beban diabetes dalam sistem perawatan kesehatan. Mekanisme yang terlibat dalam hubungan antara kontrol glikemik yang buruk dan peningkatan indeks massa tubuh, serta peran faktor-faktor seperti adipositokina dan resistensi insulin, upaya untuk mempromosikan penurunan berat badan dan pencegahan obesitas dapat lebih ditekankan.

Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dan implementasi program-program intervensi yang efektif dalam mencapai defisit kalori dan manajemen berat badan menjadi penting dalam upaya mengatasi tantangan global yang dihadapi oleh obesitas dan diabetes mellitus tipe 2.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline