Sulit Menjelaskan Pemimpin Pintar Kepada Masyarakat Aliran Yang Tidak Paham Politik Normatif
Oleh :
Tarmidinsyah Abubakar
(Godfathers)
Pernahkah anda menyaksikan fenomena kehidupan masyarakat tertinggal disuatu daerah? Dimana secara garis besar mereka pasti rutin menjalankan kebiasaan yang turun temurun yang tidak bisa dikritisi atau disentuh. Mereka sering mensucikan ritual yang dianggap turun-temurun dimaksud bahkan kebiasaan itu diyakini sebagai ritual yang berkait erat dengan keharusan dari sang penciptanya. Kebiasaan yang menjadi rutinitasnya tentu saja menjadi karakteristik bagi masyarakat tersebut yang tanpa disadari meski tradisi tersebut merugikan hidup mereka.
Akibat sudah menjadi prioritas dan aktivitas rutin yang bahkan disucikan dalam kehidupan mereka maka daya tahan tradisi itupun bertahan cukup lama dalam kehidupan mereka. Seiring dengan keberadaan tradisi maka kondisi masyarakat itupun akan terus tertinggal dengan ritual dan rutinitasnya sehari-hari. Bahkan orang lain melihatnya aneh namun menjadi suatu keunikan dan langka (scarcity) yang hanya dihargai karena faktor itu dan sebagai budaya lokal (local wisdom) yang cenderung meski dihargai dalam etika sosial global.
Begitulah awal mula terjadi ketertinggalan masyarakat yang pada akhirnya mereka didefinisikan sebagai masyarakat tertinggal, meskipun diantara mereka justru lebih pintar dari masyarakat dinegara yang maju sekalipun. Tetapi apakah mereka paham bahwa seseorang itu adalah orang yang memiliki kepintaran diatas rata-rata mereka?
Sebahagian besar mereka tidak paham karena orang yang memiliki kepintaran ilmu pengetahuan biasanya bukan seseorang yang arogan dan hidup yang serba progresif dalam berbagai sisi.
Yang mudah diketahui hanya orang yang memiliki harta atau kekayaan dan menjadi tuan atau tempat mereka meminta bantuan ditengah masyarakat. Karena itu ditengah kehidupan masyarakat tertinggal yang selalu dibutuhkan adalah Tuan Yang Adil bukan pemimpin sebagaimana kebutuhan kehidupan demokrasi.
Apakah pada masyarakat tertinggal dapat diharapkan demokrasi berjalan secara baik? Jawabnya tentu saja tidak, karena mereka bukan tergolong orang yang cukup alasan dalam bersikap terhadap suatu pilihan karena banyak faktor yang mempengaruhi mereka dikiri dan kanannya masih berada pada tahapan pemenuhan kebutuhan yang sangat primery.
Hukum demokrasi menganut standar rata-rata (averaging) dalam melihat performance dan profile masyarakat. Misalnya sebahagian besar masyarakat Aceh pendidikannya dibawah rata-rata nasional, maka performance rakyat (indeks) ya dibawah indeks nasional meski ada diantara mereka melebihi dari indeks nasional. Misalnya tingkat kepintaran masyarakat dalam rata-rata daerah standarnya dibawah nasional meskipun ada diantara mereka lebih tinggi dari indeks nasional tetap saja yang menjadi ukuran standarnya pada rata-rata (averaging).
Karena itu kecenderungan sosial dalam demokrasi pada suatu masyarakat hanya bisa terjadi jika pemahaman rata-rata masyarakat lebih kurang setara. Kecenderungan sosial adalah hirarkhi tertinggi dalam demokrasi sebagaimana terjadi tuntutan perubahan pada saat reformasi. Masyarakat pada umumnya mengharapkan adanya perubahan dan hal itu menjadi kecenderungan yang tidak bisa dihambat dengan strategi politik.
Karena itu maka sulit bagi mereka yang pintar diatas rata-rata menjadi pemimpin ditengah masyarakat yang biasa-biasa saja. Karena kepintarannya tidak mampu dibaca oleh sebahagian besar masyarakat. Apalagi banyak masyarakat yang bisa menghargai hanya dengan bantuan sembako kepada mereka yang di grassroot, sementara orang yang pintar hanya bisa memberi kontribusi dalam pemikirannya yang cemerlang, tanpa bisa memberi kontribusi dalam hidup masyarakat secara instan.