Ketika Nabi wafat, beliau tidak meninggalkan pesan dan menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya dan penerusnya di bawah kepemimpinannya. Sebagai kepala negara dan pemimpin bangsa, nabi harus menggantikannya. Selain itu, pemerintahan Islam dipimpin oleh empat orang sahabat Nabi yang dikenal dengan nama Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan hasil perundingan dengan jamaah Islam Kongres Tsaqifah. Abu Bakar lebih mengutamakan penyelesaian permasalahan di dalam negeri, memerangi kelompok yang menyimpang dari kebenaran, orang-orang yang hengkang, tidak membayar zakat, dan mengaku sebagai nabi. Umar bin Khatab diangkat menjadi khalifah atas persetujuan para pemimpin masyarakat dan persetujuan jamaah Islam. Sebelum kematiannya, Abu Bakar meminta persetujuan sahabat dan tokoh masyarakat untuk mengangkat Umar bin Khattab. Di bawah Umar bin Khattab, perluasan wilayah Islam berkembang pesat. Demikianlah Khalifah Umar segera menyelenggarakan pemerintahan mencontoh Persia yang pemerintahannya sudah berkembang. Sembari mengatur pemerintahan melalui pembentukan departemen, ia juga mendirikan Baitul Mali dan mata uang palsu. Usman bin Affan terpilih dari enam calon yang dihadirkan saat Khalifah Umar di ambang ajalnya. Umar mengajukan enam calon pengganti yang ia dan umat Islam yakini layak menduduki posisi khalifah. Setelah melalui musyawarah, terpilihlah Usman bin Affan. Selain memperluas Islam, Khalifah Usman membangun bendungan dan mengatur distribusi air, membangun angkatan laut Islam, membangun jembatan, jalan, masjid, dan memperluas Masjid Nabawi. Umat Islam Madinah memilih dan mengangkat Ali bin Abi Thalib dalam suasana yang sangat kacau. Khalifah Ali menghadapi situasi yang berbeda dibandingkan Abu Bakar dan Umar ketika umat Islam masih bersatu. Selain itu, kehidupan sosial masih sangat sederhana, kekayaan dan status tidak banyak berpengaruh. Ketika Ali bin Abi Thalib menduduki jabatan khilafah, ia memberhentikan sebagian besar gubernur yang diangkat oleh Usman dan kemudian menggantinya dengan yang baru. Saat itu Khalifah Ali banyak mendapat tuntutan dan tekanan untuk segera menghukum para pemberontak yang membunuh Usman bin Affan. Pada saat yang sama, Muawiyah bin Abu Sufyan yang satu keluarga dengan Usman yang saat itu menjabat gubernur Syam juga menolak bersumpah setia kepada Ali bin Abi Thalib dan menentangnya karena Ali bin Abi Thalib tidak menaati Islam. hukum untuk mengungkap pembunuhan tersebut oleh Usman. . Konflik ini berujung pada Perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah yang berakhir dengan kemenangan Muawiyah. Keberuntungan Muawiyah berikutnya adalah keberhasilan kaum Khawarij membunuh Ali bin Abi Thalib. Maka jabatan khalifah diberikan kepada putranya Hasan bin Ali. Karena Hasan bin Ali ingin meredam gejolak dan krisis politik, maka jabatan khalifah diserahkan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah apa yang terjadi di kota Maskin disebut "Am al-Jama" (tahun damai). Sejak masa Khulafaur Rasyidin, peran Muawiyah bin Abu Sufyan cukup strategis. Pada masa Abu Bakar Ash-Siddiq terjadi berbagai kerusuhan dan pemberontakan sehingga mendorong Abu Bakar mengambil tindakan tegas dalam memerangi mereka. Muawiyah bergabung dengan Yamama dalam menentang Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi. 1 Abu Bakar mengirimkan pasukan ke Syam, Muawiyah dan Yazid bin Abu Sufyan, saudaranya berhasil menaklukkan Suriah, khususnya kota-kota pesisir seperti Acre, Shur, dan Caesar. Pada masa Umar bin Khattab, Muawiyah ditugaskan untuk membebaskan kota kecil Qaisariyah di Palestina. Namun ternyata Qaisariyah mempunyai pertahanan dan tentara yang sangat kuat. Setelah Qaisariyah dikepung cukup lama, Terpilihnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menimbulkan permusuhan antara dirinya dengan Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Saat itu, sebagian besar umat Islam bersumpah kepada Ali Utsman sebagai penggantinya. Namun, sekelompok orang menuntut agar Khalifah Ali mengusut tuntas pembunuhan Utsman. Muawiyah bin Abu Sufyan mempolitisasi penuntutan kasus ini demi keuntungannya sendiri. Hal ini menimbulkan konflik yang melibatkan pendukung Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Mu'awiyah dilantik sebagai khalifah - setelah mendapat kekuasaan penuh dari Hasan bin Ali - pada tahun 40 H/660 M. di Iliya (Yerusalem). Selanjutnya, beliau memindahkan pusat kekuasaan dan pemerintahan dari Kufah ke Suriah, sehingga menjadikan Damaskus sebagai ibu kota Kerajaan Islam, dimana sebelumnya Damaskus menjadi ibu kota provinsi Suriah. Pemindahan pusat pemerintahan ke Damaskus merupakan langkah yang sangat strategis bagi Mu'awiyah untuk memperluas kekuasaannya hingga ke Mesir, Armenia, Mesopotamia bagian utara, Georgia, dan Azerbaijan di Asia Kecil Spanyol. Selain itu, perpindahan ibu kota negara juga mempunyai implikasi politik dan merupakan fenomena baru yang dihadirkan Mu'awiyah kepada masyarakat dan lawan politiknya. Damaskus merupakan basis kekuasaan dan kekuatan Mu'awiyah, sehingga sangat logis jika pusat pemerintahannya tidak lagi berada di kota Kufah. Mu'awiyah sebagai khalifah mempunyai landasan yang kuat dan kokoh untuk membangun landasan politik berikutnya. di masa depan, termasuk dia: 1. Dukungan kuat dari rakyat Suriah dan keluarga Bani Umayyah. Suriah, yang telah lama diperintah oleh Mu'awiyah, memiliki tentara yang kuat, terlatih dan disiplin di garis depan perang melawan Roma. 2. Sebagai seorang pengurus, Mu'awiyah bin Abi Sufyan sangat bijaksana dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. 3. Mu'awiyah mempunyai kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati bahkan mencapai tingkat hilm -- sifat penting yang dimiliki para pejabat Mekkah pada zaman dahulu -- hilm adalah kualitas seseorang yang mampu mengendalikan diri dan bahkan bertindak secara penuh. keputusan bila ada tekanan dan intimidasi.. Berdasarkan penjelasan di atas, Mu'awiyah menjadi khalifah, ia segera memindahkan Kufah ke Damaskus untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menstabilkan struktur pemerintahan. Hal ini biasanya dilakukan oleh pengemudi. Sebagai negara yang baru merdeka, negara ini fokus pada aspek pertahanan dan pemerintahan, menjaga dan mendukung stabilitas ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Mu'awiyah menyadari bahwa Kufah bukanlah basis yang didirikan oleh para pengikutnya. Hal ini tentu saja menghambat kebijakan Mu'awiyah karena mendapat tentangan yang besar, apalagi para pengikut Ali bin Abi Thalib tidak sepenuhnya menerima keberadaan Mu'awiyah sebagai khalifah, meskipun Hasan telah menyetujui dan memohon. pengikut yang mengikuti dan menaati Mu'awiyah. Mu'awiyah tetap menggunakan soft power untuk mendukung gagasan dan kebijakannya, dengan alasan Damaskus merupakan kawasan strategis sebagai pusat pemerintahan. Setelah berhasil bergerak, ia mengkonsolidasikan pengaruhnya terhadap kelompok dan masyarakat untuk mendukung pemerintahannya. Sehingga kelak dapat membangun pemerintahan yang ideal dan stabil.. Jadi dapat kita simpulkan bahwa peralihan kekuasaan dari Kufah ke Damaskus memang diwarnai dengan berbagai peristiwa seperti perang Shiffin, adanya tahkim/arbitrase, diangkatnya Ali , pengangkatan Hasan untuk menahbiskan Mu'awiyah sebagai khalifah. Mu'awiyah memilih Damaskus sebagai pusat kekuasaan karena wilayah tersebut sangat strategis dan penuh dengan pendukung kuat yang memudahkan arah politiknya dalam membangun pemerintahan yang stabil dan kuat. Kepentingan politik Mu'awiyah di balik peralihan kekuasaan adalah memperluas kekuasaan Islam dan memantapkan kedudukan Khalifah yang merupakan tokoh nomor satu dalam pemerintahan Islam saat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H