Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Etika Komunikasi Pejabat Publik dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Diperbarui: 15 Mei 2024   17:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ujian Tengah Semester
Nama: Taqiy Nuril Ammar
Nim: 23010400088
Dosen: Dr. Nani Nurani Muksin, S.Sos, M.Si
Matkul: Filsafat Komunikasi (H)
Universitas Muhammadiyah Jakarta

Filsafat Etika Komunikasi Pejabat Publik Dalam Penanganan Pandemi Covid-19

Pejabat publik atau negara yang mewakili suatu lembaga atau menjadi juru bicara dari suatu
organisasi, dipandang sebagai sumber kolektif (collective source)1dan merupakan komunikator
politik yang memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam proses opini publik2. Sebagai
pejabat publik, tutur katanya harus berkualitas dan bijak. Sayangnya di masa pandemi Covid-19,
banyak pejabat publik yang melontarkan pernyataan kontroversial tanpa mengindahkan etika
komunikasi. Sehingga banyak menimbulkan kegaduhan, umpan balik negatif, dan berkontribusi
menjadikan kurva dan trend pandemi Covid-19 di Indonesia masih tetap tinggi.Menurut
Koordinator Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan
penambahan kasus positif di Indonesia masih terus naik dan mencapai angka 17,61 persen, jauh
melampaui rata-rata kasus aktif di dunia yang sebesar 6,58 persen.3 Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan juga jumlah orang yang terkonfirmasi positif
Covid-19 di seluruh Indonesia telah mencapai 2.852.200. Kemudian yang meninggal sebanyak
72.879 orang, dan 536.292 positif aktif (masih sakit), serta 2.243.029 orang dinyatakan sembuh.
Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy juga pernah
melontarkanpernyataan kontroversial dengan menganjurkan orang kaya menikahi orang
miskin.Usulan tersebut dengan alasan adanya salah pengertian anjuran dalam Islam kalau mencari
jodoh harus sekufu, atau setara. Akibatnya, orang miskin sama-sama cari yang miskin.
Dampaknya, jadilah rumah tangga miskin baru.8 Sementara Kepala Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi pernah berujar “kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu
ya agama, bukan kesukuan. Selain itu ia mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab
suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara.9Berdasarkan hasil penelitian Lembaga
Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pemerintah banyak
melakukanblunder atau kekeliruan dalam berkomunikasi. Selama kurun waktu 1 Januari hingga 5
April 2020, LP3ES menemukan adanya 37 pernyataan blunder pernyataan pemerintah terkait
Covid-19.10 Dari 37 pernyataan blunder itu, 13 di antaranya terjadi pada masa pra-krisis Covid-
19. Kemudian, 4 pernyataan terjadi selama masa awal krisis, dan 20 pernyataan terjadi di masa
krisis. Kekeliruan dalam komunikasi itu disampaikan oleh berbagai pejabat, dari yang tertinggi
hingga tingkat eselon 1. Pejabat itu dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menko
Maritim, Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, BNPB, Menteri
Pariwisata, Juru Bicara Presiden, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, hingga
Dirjen Perhubungan. Pada fase pra krisis yang dimulai dari akhir Januari hingga awal Maret 2020,
pemerintah dinilai tidak serius, menyepelekan, bahkan menolak kemungkinan adanya kasus virus
corona di Indonesia.
Sejauh yang dapat dicermati, belum ada definisi mengenai etika komunikasi. Meskipun demikian,
sejumlah ahli berupaya untuk melakukannya. Misalnya, Richard L Johannesen yang berpendapat
banyak orang beranggapan bahwa dalam berkomunikasi, kita harus menggunakan etika
komunikasi sebagai suatu nilai-nilai atau norma mengenai benar atau salah yang dianut suatu
golongan dan menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok untuk menghargai dan
menghormati lawan bicara serta mengatur tingkah lakanya agar tidak menyakiti hati orang lain.
Lalu Johannesen menyebut tiga tujuan etika komunikasi, yaitu: (1) membantu manusia untuk
bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan; (2) membantu manusia mengambil
sikap dan tindakan secara tepat dalam hidup ini; dan (3) untuk menciptakan kebahagian.
Pejabat publik memainkan peran penting dalam penanganan pandemi COVID-19 dengan
mengimplementasikan kebijakan kesehatan masyarakat, memfasilitasi distribusi vaksin,
menyediakan bantuan ekonomi, dan menyampaikan informasi terbaru kepada masyarakat. Mereka
juga bekerja sama dengan lembaga kesehatan untuk memastikan perawatan yang adekuat bagi
yang terinfeksi. Tantangan seperti koordinasi antarlembaga dan sumber daya yang terbatas sering
menjadi fokus dalam upaya penanganan ini.
Pejabat publik seperti pejabat kesehatan masyarakat, pejabat gubernur, dan pejabat kesehatan
negara memiliki peran penting dalam penanganan pandemi COVID-19. Mereka bertanggung
jawab untuk merumuskan kebijakan, mengoordinasikan respons, dan menyediakan informasi yang
akurat kepada masyarakat.
Di tengah peningkatan jumlah warga yang terpapar Covid-19 varian omicron dalam beberapa
waktu ke belakang, pemerintah seolah-olah belum belajar banyak selama dua tahun ke belakang
dalam menangani pandemi. Hingga 6 Februari 2022, dari 194 rumah sakit yang terdaftar dalam
Executive Informative System Dinas Kesehatan Jakarta, bed occupancy rate (BOR) atau tingkat
keterisian tempat tidur rumah sakit mencapai mencapai 63%. Pada tanggal 8 Februari 2022, BOR
untuk ruangan ICU tekanan negatif dengan ventilator mencapai 83%, atau terisi sebanyak 117 dari
total 141 tempat tidur.

Baru setelah pengumuman Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020 tersebut, pemerintah mulai terlihat “sibuk” dalam upaya memadamkan penyebaran lebih lanjut virus ini. Bukan saja di sektor kesehatan, tetapi juga di sektor-sektor lain seperti ekonomi.
Keterlambatan respon dan lambatnya pengambilan tindakan ini menyebabkan bukan saja krisis kesehatan, tetapi juga krisis ekonomi yang meluas. Sontak dalam waktu singkat setelah kasus pertama Covid-19 di Indonesia, IHSG terjun bebas dari level 6.300 ke level di bawah 5.000 karena kepanikan investor.
Penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga menyebabkan mobilitas ekonomi terbatasi, yang tentunya mempengaruhi keberlangsungan usaha mulai dari UMKM hingga perusahaan-perusahaan besar. Jadi ekonomi digempur dari berbagai arah, mulai dari turunnya permintaan barang dan jasa, kepercayaan, serta daya beli masyarakat, ditambah lagi dengan ketidakpastian terhadap kapan berakhirnya multi krisis ini.
Alhasil, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar minus 2.07 (kontraksi) selama tahun 2020. Walaupun dengan susah payah menerapkan berbagai kebijakan dan regulasi dalam upaya ini, akhirnya kasus terkonfirmasi positif Covid-19 telah mencapai lebih dari 1 juta orang, dengan jumlah kematian lebih dari 30.000 orang, sebelum genapnya satu tahun pengumuman kasus perdana tersebut.
SOURCE
https://journal.ptiq.ac.id/index.php/elmadani/article/download/290/176/424
https://antikorupsi.org/id/catatan-dua-tahun-penanganan-pandemi-covid-19-di-indonesia-kumpulan-
pendapat-keahlian
https://republika.co.id/berita/qositu282/pandemi-covid-19-kesempatan-menyeting-ulang-ekonomi-nasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline