Lihat ke Halaman Asli

Taqia Fida Tazkyana

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Telaah Pendidikan Kritis: Urgensi Dialog Dalam Bingkai Pola Interaksi Belajar Secara Daring di Masa PJJ

Diperbarui: 11 Januari 2021   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hadirnya Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia yang berujung pada diberlakukannya kebijakan untuk menjaga jarak secara fisik (physical distancing) dan kondisi normal baru (new normal) menimbulkan suatu perubahan dalam proses interaksi sosial masyarakat, dimana perilaku dan kebiasaan masyarakat diatur dan ditransformasikan kedalam pola interaksi secara daring. Dalam bidang pendidikan, hal ini berdampak pada terjadinya perubahan dalam proses pembelajaran melalui implementasi program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19).

Seperti yang disampaikan Zhafira, dkk. (2020: 38) pembelajaran daring dilakukan oleh hampir setiap institusi pendidikan demi memutus rantai penyebaran virus dan menjaga keamanan serta keselamatan peserta didik dan tenaga pendidik. Pembelajaran jarak jauh merupakan suatu peralihan cara pembelajaran yang menuntut semua pihak yang terlibat dalam proses pembelajaran  untuk mengikuti alur pemanfaatan teknologi sebagai media untuk menunjang proses pembelajaran. Sehingga pada umumnya pembelajaran jarak jauh ini dilakukan secara daring dengan memanfaatkan berbagai platform pembelajaran berbasis internet seperti WhatsApp Group, Webex, Google Meet, Google Classroom, Zoom Meeting, dan lain sebagainya.

Perubahan dalam proses pembelajaran ini berdampak pada munculnya berbagai permasalahan baru, salah satunya adalah terhambatnya interaksi peserta didik dengan warga sekolah (khususnya dengan guru dan teman sekelas) dalam proses pembelajaran yang terjadi karena faktor kurangnya wadah yang efektif bagi peserta didik untuk berinteraksi dan berdiskusi secara optimal dalam proses pembelajaran di sekolah sebagaimana pada saat pembelajaran tatap muka berlangsung.

Efektivitas Implementasi Pembelajaran Secara  Daring di Masa PJJ

Implementasi kebijakan pembelajaran jarak jauh yang menuntut kesiapan dari seluruh komponen pembelajaran dalam waktu yang singkat dengan segala keterbatasan dan ketidaksiapan sistem pada akhirnya menyebabkan timbulnya berbagai macam kendala  yang mengganggu efektivitas proses pembelajaran secara daring itu sendiri. Seperti misalnya kesulitan akses internet, baik dari segi stabilitas jaringan maupun terbatasnya kuota untuk mengakses informasi terkait dengan proses pembelajaran. Selain itu, kurang mendukungnya fasilitas pembelajaran seperti tidak adanya komputer, laptop ataupun smartphone juga menjadi penyebab kurang optimalnya kegiatan PJJ.

Kendala ini diperparah dengan kondisi dimana tidak jarang suatu proses pembelajaran di kelas menjadi kurang efektif dalam pola interaksi belajar secara daring karena masih banyaknya pendidik yang belum sepenuhnya menguasai metode pembelajaran berbasis teknologi (internet) sehingga membuat mereka kesulitan dalam mengaplikasikan pembelajaran secara daring meskipun sudah adanya petunjuk teknis dari Dinas Pendidikan. Mengutip data Ikatan Guru Indonesia (IGI), Lestari Moerdijat, wakil ketua MPR mengungkapkan berdasarkan pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh yang diterapkan selama tiga bulan pertama tercatat 60% guru memiliki kemampuan sangat buruk dalam penggunaan teknologi informasi saat mengajar. Kendala tersebut semakin diperparah dengan hadirnya  kondisi dimana guru hanya sebatas memberikan materi melalui platform-platform pembelajaran tanpa disertai dengan penjelasan mendalam mengenai materi tersebut, serta membebankan siswa dengan pemberian serangkaian tugas  sedangkan guru hanya berperan mengontrol dan mewajibkan siswa untuk mengumpulkan tugas tersebut tanpa ada proses interaksi belajar di dalamnya.

Selain itu, sebagian besar siswa merasa kurang leluasa dan sungkan untuk bertanya kepada guru mengenai materi yang belum dipahaminya karena seringkali setelah guru memberikan materi, maka murid diharuskan untuk mempelajari materi tersebut secara mandiri tanpa ada bimbingan lanjutan oleh guru. Sehingga pola interaksi dalam pembelajaran hanya terkesan bersifat satu arah tanpa adanya proses komunikasi lebih lanjut yang membuat siswa merasa tidak adanya interaksi aktif dalam proses pembelajaran karena guru cenderung hanya memberikan materi bersifat teoritis tanpa menyertakan penjelasan analitis yang dapat membantu siswa mengkonstruksi cara berpikirnya mengenai materi yang sedang dipelajari. Sehingga tidak jarang proses interaksi belajar dalam bentuk diskusi aktif di dalam kelas seperti kegiatan tanya jawab langsung maupun diskusi mengenai contoh permasalahan kontekstual dalam kehidupan sehari-hari mengenai materi yang sedang dipelajari justru tidak dilaksanakan, padahal sebenarnya proses interaksi belajar secara aktif tersebut merupakan hal yang sangat esensial dalam membangun daya kritis dan analitis siswa yang berguna dalam proses belajarnya agar mampu mengkonstruksi pengetahuan yang didapatnya serta membentuk siswa yang berkarakter.

Redupnya Peran Dialog Dalam Pembelajaran Secara Daring di Masa PJJ

Pendidikan sejatinya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengetahui dan memahami tentang apa yang telah diperoleh dari pelajaran (Freire: 2002). Sehingga dalam proses pembelajaran, pendidikan tentunya harus dapat menciptakan suasana belajar dialogis yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya. Dalam konteks implementasi PJJ saat ini, permasalahan kurang efektifnya proses interaksi belajar yang aktif, seringkali diakibatkan oleh kondisi dimana guru hanya sekedar menyajikan materi pelajaran melalui platform-platform pembelajaran tanpa disertai penjelasan analitis yang dapat membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui hal yang sedang dipelajari. Sehingga kegiatan-kegiatan diskusi di dalam kelas menjadi sangat jarang dilakukan, dan menyebabkan pudarnya interaksi dialektis antara guru dan siswa yang sebenarnya berperan besar bagi individu untuk dapat mengelaborasikan pengetahuan yang didapatnya di sekolah untuk kemudian direfleksikan sebagai bentuk solusi atas pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini menunjukkan bahwa konsepsi dialog yang digagas Freire memiliki peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, dimana dialog merupakan salah satu upaya refleksi individu atas dunia mereka. Melalui proses pembelajaran yang dialektis, guru tidak hanya diposisikan sebagai pengajar yang memiliki otoritas paling dominan dalam pembelajaran, namun justru terjadi proses saling belajar dan berkembang bersama diantara guru dan siswa. Hal ini dikarenakan dalam proses dialog, hak asasi manusia sangat dihargai dengan diberikannya ruang dan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan hasil konstruksi pengetahuan yang telah didapatkan selama proses pembelajaran yang nantinya akan memunculkan humanisasi dalam ranah pendidikan. Sehingga dengan hadirnya dialog, siswa tidak lagi hanya diposisikan sebagai objek dari kegiatan pembelajaran yang bertugas untuk menerima informasi dan pengetahuan yang disampaikan oleh guru, namun justru siswa adalah subjek dalam pembelajaran sebagai rekan peneliti kritis bersama guru dalam mempelajari suatu hal, sehingga pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana penanaman kesadaran kritis bagi siswa.

Jika interaksi satu arah dengan kondisi dimana peran guru dalam pembelajaran di kelas selama masa PJJ hanya sebatas memberikan tugas dan materi tanpa memberi penjelasan kepada siswa serta tidak memberikan ruang bagi siswa untuk mengemukakan pendapatnya  ini terus berlangsung dalam pelaksanaan PJJ,  maka akan memelihara terjadinya kontradiksi yang menghambat munculnya kesadaran kritis pada siswa, dimana hal ini dikhawatirkan akan kembali membentuk sistem pembelajaran tradisional, yaitu Pendidikan Gaya Bank. Dimana murid diposisikan sebagai 'bejana kosong' atau objek penerima yang perlu diisikan pengetahuan oleh guru. Oleh karena itu, jika dalam pelaksanaan PJJ siswa hanya sebatas membaca materi yang diberikan oleh guru melalui platform-platform pembelajaran tanpa ada proses dialektika di dalamnya, maka tentunya sikap anti-dialog ini akan mengarah pada proses dehumanisasi individu berupa terjadinya Budaya Kebisuan atau 'Culture of Silence' , dimana murid hanya mendengar, mencatat, dan menghafal hal yang disampaikan guru tanpa memahami makna sesungguhnya dari apa yang ia pelajari. Sehinga hal ini sangat berbahaya, karena dapat menghilangkan esensi pendidikan yang memanusiakan itu sendiri serta menghambat perkembangan kesadaran kritis di dalam diri individu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline