Lihat ke Halaman Asli

[FFA] Fantasi Gobag Sodor

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nomor Peserta : 332

“Satu, dua, tiga, ...” Radit mulai menghitung jumlah temannya.

“Enam, Dit. Jumlah kita udah enam orang. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo kita mulai aja sekarang...” Eko berkata tak sabar.

“Semangat amat ya, Ko. Kenapa? Udah nggak sabar ya ingin mengalahkan tim kami?” Widi bertanya sambil menghabiskan es krim di tangannya.

“Hahaha... Kayaknya memang gitu, Wid. Mau membayar kekalahan permainan kemarin...” Sandi ikut menimpali.

“Oke... Oke... Kita udah bisa mulai sekarang. Jumlah kita pas enam orang. Jadi gimana, nih, pembagian timnya? Kayak yang kemarin aja atau diacak kembali?” Radit menghentikan obrolan teman-temannya.

“Menurut kalian gimana? Aku, sih ngikut aja...” Hana berpendapat.

“Sama, aku pun oke-oke aja. Terserah gimana baiknya, lah” Ewin ikut menjawab sambil tetap asyik memainkan game di hapenya.

“Kalo gitu, pembagian tim seperti kemarin aja, ya. Biar cepat. Aku, Eko, dan Hana satu tim. Berarti tim kedua terdiri dari Widi, Sandi, dan Ewin” Radit menjelaskan.

“Hoi... Udah, dong main hapenya. Bantu aku menggambar garis...” Eko melemparkan kapur tulis putih ke arah Ewin.

Ewin kaget namun sempat menangkap kapur tersebut. Selanjutnya, bersama Eko, dia menggambar garis-garis di atas tanah tempat mereka bermain nanti. Hasilnya berupa bentuk persegi panjang. Lalu, tepat di tengah persegi panjang itu, Eko membuat garis horizontal dan garis vertikal. Tampak seperti tanda tambah yang berada di dalam persegi panjang.

“Selesai... Permainan gobag sodor sudah bisa kita mulai...” Eko memberitahu teman-temannya.

Keenam anak itu pun lalu berkumpul. Radit dan Sandi yang mewakili tim masing-masing saling melakukan suit. Ini dilakukan untuk menentukan tim manakah yang bertugas sebagai penjaga. Ternyata tim Sandi kalah. Berarti di awal permainan ini tim Sandi yang bertugas menjadi penjaga garis.

Sandi lalu membagi tugas anggota-anggotanya, “Widi menjaga garis finish, ya. Ewin menjaga garis tengah. Dan, aku akan menjaga garis start...”

“Kita harus mewaspadai Ewin. Dia larinya gesit. Tangannya panjang pula. Jadi, berhati-hatilah jika sudah berada di tengah. Sedikit saja si Ewin berhasil menyentuh badan kita, maka otomatis kita kalah dan harus menjadi penjaga garis...” setengah berbisik Radit mengingatkan anggota timnya.

“Oke?! Bisa dimulai?” Sandi bertanya.

Dia sudah berdiri di atas garis start sambil merentangkan tangan. Bersiap-siap memulai tugasnya yakni berusaha menghalangi tim Radit memasuki wilayah persegi panjang itu.

“Yap, kita mulai....” Radit menjawab cepat.

Seketika halaman rumah Sandi, tempat mereka bermain gobag sodor, berubah menjadi hutan lebat. Terlihat dari kejauhan tiga orang pengendara kuda berjalan beriringan. Mereka memacu kudanya agar berlari lebih kencang di atas jalan yang membelah hutan. Ketiganya adalah Prajurit Radit, Putri Hana, dan Prajurit Eko.

“Kita harus segera mencapai Puri Cahaya sebelum matahari tenggelam...” Prajurit Radit berkata.

“Aku sudah tak kuat lagi. Apakah masih jauh...?” Putri Hana bertanya sambil tetap memacu kuda.

“Sabar, Tuan Putri. Puri Cahaya sudah dekat. Benarkan Prajurit Radit?” Prajurit Eko memandang Prajurit Radit yang berkuda paling depan.

“Benar, Tuan Putri. Daun-daun pohon yang tampak bersinar-sinar itu menunjukkan bahwa Puri Cahaya sudah dekat”

Mereka terus memacu kudanya. Lalu...

“Puri Cahaya! Sungguh puri yang sangat indah...” Putri Hana terpana menatap bangunan yang bersinar terang di depannya.

“Ayo, kita harus segera ke dalam...” Prajurit Radit mengajak Putri Hana dan Prajurit Eko turun dari kuda.

“Bagaimana dengan ketiga penjaga puri ini yang terkenal sangat sakti?” Prajurit Eko bertanya.

“Di pintu masuk puri, kita akan berhadapan dengan Pendekar Sandi. Hati-hati. Pokoknya kita harus mencari celah untuk masuk ke dalam. Jangan sampai kita tersentuh oleh Pendekar Sandi. Jika tersentuh, maka kita semua akan masuk ke Dunia Hitam yang mengerikan. Kelemahan Pendekar Sandi, dia mudah sekali ditipu. Jadi, Prajurit Eko bersikaplah seolah-olah sedang berusaha masuk melalui celah di sebelah kirinya. Begitu dia bergerak ke arah kirinya untuk menyentuh Prajurit Eko, maka aku dan Putri Hana akan masuk melalui sebelah kanannya...”

Seperti yang telah diberitahukan Prajurit Radit, begitu mereka tiba di depan pintu masuk Puri Cahaya, Pendekar Sandi sudah menanti. Dia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Matanya awas mengamati gerakan Prajurit Radit dan kawan-kawan.

“Kami harus berhasil melewati Puri Cahaya sebelum matahari tenggelam. Jika tidak, maka Tuan Putri Hana tidak akan bisa kembali lagi ke istana dan bertemu kedua orangtuanya untuk selama-lamanya. Jadi, Ijinkan kami untuk masuk ke dalam...” Prajurit Radit mencoba membujuk Pendekar Sandi.

“Kalian boleh masuk jika berhasil melewati penjagaanku...” ujar Pendekar Sandi sambil menyeringai.

Prajurit Eko langsung menjalankan taktik Prajurit Radit. Berhasil. Putri Hana dan Prajurit Radit sudah masuk ke dalam puri. Lalu, dari dalam mereka berusaha memancing Pendekar Sandi agar tergoda untuk mengejar mereka. Begitu ada celah, Prajurit Eko pun berhasil masuk puri.

Keadaan di dalam Puri Cahaya ternyata jauh lebih indah. Dinding puri terbuat dari batu permata beraneka warna yang berkilau-kilau memancarkan sinarnya. Pada tiap sudut berdiri patung peri cantik yang dipahat dari bongkahan emas.

Prajurit Radit kembali mengingatkan kedua temannya untuk terus waspada. Kini di hadapan mereka tampak tanda tambah raksasa yang membelah puri menjadi empat bagian. Pada garis vertikal tanda tambah itu Pendekar Ewin sudah menanti. Bersiap-siap mengejar dan menyentuh mangsanya.

Putri Hana yang tak sengaja telah berdiri tepat di atas garis vertikal itu hampir saja berhasil disentuh Pendekar Ewin. Untunglah, Prajurit Eko sigap menarik Putri Hana keluar dari garis tersebut.

“Hati-hati...!” Prajurit Eko mengingatkan.

“Oh, terima kasih. Tadi aku sempat terpana melihat keindahan isi puri...” Putri Hana menyadari kelengahannya.

“Ayo, kita harus cepat. Sebentar lagi matahari tenggelam. Kita harus mencapai pintu keluar dan berhasil melewati puri ini” seru Prajurit Radit.

Bertiga dengan penuh kewaspadaan mencoba mendekati pintu keluar puri. Sementara Pendekar Ewin terus menatap tajam ke arah mereka. Mencari saat di mana ketiganya lengah agar dia dapat menyentuh mereka.

Akhirnya pintu menuju keluar puri telah tampak. Ah, lagi-lagi Prajurit Radit dan kawan-kawannya harus berhadapan dengan penjaga puri. Tampak Pendekar Widi telah menanti.

“Tetaplah waspada. Jangan tertipu dengan kecantikan rupanya. Kelihaian pendekar ini sudah terkenal seantero negeri...” setengah berbisik Prajurit Radit mengingatkan temannya.

Untuk menghadapi Pendekar Widi, Prajurit Eko mencoba taktik yang serupa saat menghadapi Pendekar Sandi. Namun tidak berhasil. Pendekar Widi tidak bergeming dari tempatnya berjaga. Dia tetap awas mengamati ketiga mangsanya.

Terpaksa Prajurit Eko dan kawan-kawannya berusaha keras. Bertubi-tubi mereka mengelabui Pendekar Widi. Prajurit Eko mencoba dari arah sebelah kiri. Prajurit Radit dan Putri Hana mencoba arah sebelah kanan. Kembali Putri Hana hampir tertangkap Pendekar Ewin. Karena di saat Putri Hana tengah mengecoh Pendekar Widi, tiba-tiba Pendekar Ewin muncul dari belakang. Ternyata Putri Hana telah menginjak garis vertikal lagi. Untung Prajurit Radit cepat mendorong Putri Hana ke luar garis. Sehingga Putri Hana dan kawan-kawannya tak sempat masuk ke Dunia Hitam.

Setelah cukup lama mengecoh Pendekar Widi, akhirnya Prajurit Eko dan Prajurit Radit berhasil melalui pintu keluar. Dari luar Puri Cahaya, mereka berteriak menyemangati Putri Hana yang masih terjebak di dalam. Prajurit Radit pun kembali mendekati pintu, mencoba mengecoh Pendekar Widi agar membalikkan badan dan berusaha menyentuh dirinya. Pendekar Widi terpancing. Tepat Pendekar Widi membalikkan badan, Putri Hana pun berlari ke luar.

“Horeee! Berhasil! Kita Berhasil!” Putri Hana berteriak senang.

Prajurit Radit dan Prajurit Eko langsung menoleh ke arah Putri Hana. Tetapi...

“Tuan Putri, Awaaas!!!”

Terlambat. Tepat di samping Putri Hana berdiri, Pendekar Widi sambil tersenyum sinis menyentuhkan tangannya ke pundak Putri Hana. Lalu, semuanya menjadi berputar-putar. Hitam. Gelap...

“Udah... Udah... Hari minggu nanti kita main lagi, ya...” Radit mengakhiri permainan.

“Yah, kok udahan, sih. Gak adil, nih. Mentang-mentang timnya dapat giliran jaga, langsung bilang udahan...” Sandi cemberut.

“Lagipula sebentar lagi kayaknya mau turun hujan, nih. Mendung banget. Nggak baik main-main kalo sambil hujan-hujanan...” Radit menunjuk ke arah langit.

“Kata siapa nggak baik?” Widi bertanya.

“Kata siapa? Yaaa... Kata aku, dong...” Radit berlalu sambil tersenyum puas.

“Huuu.....”

***

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul: [FFA] Inilah Perhelatan dan Hasil Karya Peserta Festival Fiksi Anak di Kompasiana

http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:
https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline